Sabtu, 28 Agustus 2010

Stigmatisasi Menghancurkan Peradaban Bangsa Papua


Berkembangnya peradaban suatu bangsa membutuhkan proses dan dibutuhkan para kaum visioner yang mampu melakukan terobosan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia. Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan dari latar belakang budaya, praktek ekonomi, pendidikan, sosial politik, letak ekologis, dan lain sebagainya. Peradaban dunia kuno yang dikatakan sebagai bangsa termaju adalah peradaban Timur Tengah pada abad 2500 Sebelum Masehi dimana mulai mengenal tradisi tulis-menulis dengan pola yang sangat sederhana. Pada jaman inilah struktur kemasyarakatan dari kesukuan menjadi Kerajaan. Timur Tengah sebagai pencetus peradaban manusia kuno dengan membuka sekolah-sekolah. Mula-mula sekolah-sekolah yang didirikan dalam rangka mempersiapkan orang yang mampu berkomunikasih dalam berdiplomasi, dalam dan luar negeri, serta disiapkan pegawai-pegawai di Istana Raja, entah menjadi panitera, sekretaris, imam, hakim, dan nabi di Istana Raja. Pengaruh Timur Tengah ini berdampak juga di Israel sejak Raja Daud berkuasa di Israel. Baik Timur Tengah kuno dan Israel mendirikan sekolah-sekolah agar dipersiapkan tenaga-tenaga yang professional yang nantinya dipekerjakan di Istana Raja, bahkan menjadi diplomat di luar negeri.
Kemajuan itu terjadi karena dilatarbelangi oleh tradisi tulis-menulis. Budaya tulis-menulis inilah yang melahirkan pelbagai filsuf, pertama-tama muncul di Yunani. Seiring dengan perputaran waktu, peradaban manusia mulai berkembang ke pelbagai pelosok planet bumi.
Kemajuan dibidang ilmu dan teknologi canggih berkembang akibat pengaruh para pemikir kuno di Timur Tengah. Keingin-tahuan manusia mulai meningkat, maka para pemikir bertanya dan terus bertanya sambil mencari hakekat yang hakiki, sambil mencari solusi-solusi alternatif untuk menjawab permasalahan yang dihadapi manusia. Keingin-tahuan yang didukung oleh budaya tulis-menulis mengakibatkan ilmu dan teknologi berkembang makin pesat. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengantar manusia melahirkan pelbagai hal yang spektakuler di pelbagai belahan dunia. Misalnya kemajuan Amerika Serikat adalah pengaruh dari para pemikir bangsa Israel yang berdominsili di Amerika Serikat.
Perkembangan peradaban suatu bangsa yang kemudian mendirikan suatu Negara ditentukan oleh tokoh-tokoh visioner yang mampu melahirkan pelbagai hal-hal baru. Cina yang dikenal sebagai pengusaha kelas kakap di dunia, justru dipacuh oleh latar belakang peradaban budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Kebanyakan bangsa-bangsa di dunia yang sudah menjadi merdeka (berdaulat) dan masih berjuang untuk suatu kebebasan, adalah bangsa-bangsa yang menganut budaya lisan, dan cara pandang terhadap segala sesuatu. Faktor budaya lisan dan faktor penghambat lain, inilah yang menghambat perkembangan peradaban suatu bangsa. Pada umumnya latar belakang peradaban bangsa-bangsa di Indonesia tidak mengenal istilah budaya tulis-menulis. Dampak dari faktor ini mengakibatkan perkembangan peradaban di Indonesia masih membutuhkan keuletin dan para membutuhkan para tokoh pemikir (visioner).
Dalam pelbagai kesempatan para pejabat Indonesia selalu merendahkan peradaban bangsa-bangsa lain di Indonesia, misalnya Papua. Para pejabat yang nota benenya kebanyakan dari bangsa Jawa selalu mengatakan bahwa bangsa Papua adalah bangsa yang primitif (terbelakang), tidak kreatif, bodoh, tidak inovatif, tidak miliki jiwa interprenur, dan lain sebagainya. Mereka merasa bahwa peradaban Negara Indonesia telah maju, khususnya di Jawa. Ironisnya ialah bahwa Negara Indonesia adalah negara miskin, dan masih digolongkan ke dalam negara berkembang alias dunia ketiga. Para pejabat Indonesia yang kebanyakan berasal dari Jawa ini menepuk dada bahwa mereka akan menjadi negara maju, sama seperti negara lain di dunia, misalnya Amerika, China, Jepang; tetapi menurut penulis ini hanya impian belaka. Ambisi menjadi sebuah Negara maju superpower, tetapi kemampuan Indonesia dalam mengimbangi perkembangan dibidang ilmu dan teknologi masih rendah. Menurut pengamatan penulis ambisi besar, tetapi tidak diimbagi dengan kemampuan dan tindakan kreasi dalam melahirkan hal-hal spektakuler.
Sesugguhnya tindakan para pejabat Indonesia yang mana melecehkan peradaban bangsa Papua dengan pelbagai stigimatisasi yang miring dapat dikatakan sebagai tindakan manusia yang tidak beradab. Manusia yang beradab tentu ia menghargai apa pun peradaban bangsa lain, manusia yang beradab, tentu memberi teladan dengan tindakan nyata, bukan dengan kata-kata penghinaan; manusia yang beradab tentu akan mengarahkan orang lain untuk melakukan pelbagai terobosan. Pertanyaannya ialah bahwa bagaimana mungkin Negara Indonesia yang dikategorikan sebagai negara miskin membimbing manusia lain untuk berkembang? Bagaimana mungkin buta bimbing buta? Jika inilah yang terjadi, maka mereka masuk ke dalam jurang kehancuran.
Ketidak-mampuan Negara Indonesia dalam segala line terbentang luas di depan mata, namun segala kelemahannya itu dianggap sebagai hal yang biasa (wajar), maka itu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme membudaya dalam kelangsungan ketatanegaraan Indonesia. KKN adalah bukti dari suatu peradaban Indonesia yang telah membudaya dan masih dipraktekan sampai detik ini.
Peradaban Negara Indonesia yang dilandaskan pada kebohongan dan kebodohan, telah melahirkan buah-buahnya, yakni stigmatisasi bangsa lain, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; kekerasan, diskriminasi, pelecehan, terror, intimidasi, penghinaan, ketidak-adilan, pembantaian, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin Negara Indonesia membangun peradaban bangsa Papua, jika Negara Indonesia sendiri tidak memiliki peradaban bangsa yang kokoh. Orang Papua memahami betul bahwa selama bangsa Indonesia berada di bawah kungkungan NKRI, maka selama itulah peradaban bangsa Papua tidak akan pernah maju.
Stigmatisasi bodoh, jijik, kotor, terbelakang, tidak mampu, tidak kreatif, tidak interprenur, OPM, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), separatis, manusia kera, pemalas, peminum, dan sebagainya adalah tindakan pembunuhan psikologis orang Papua atau pembunuhan karakter orang Papua. Bagaimana mungkin orang Papua berkembang, jika setiap saat orang Papua dihujani dengan pelbagai stigmatisasi dari orang Indonesia. Justru stigmatisasi inilah yang mengakibatkan karakter (psikologi) orang Papua dihancurkan, maka mana mungkin orang Papua mengembangkan segala bakat dan minatnya untuk mencapai peradabannya. Misalnya, dalam keluarga, jika orang tua atau sanak-saudari mengatakan kepada anak-anaknya distigmatisasi negatif, misalnya dicap bodoh. Kata-kata ini diulang terus-menerus, maka kata “bodoh” ini terpatri dalam jiwa anak itu; kemana pun anak itu pergi, kata “bodoh” itu terus terusik dalam jiwanya seiring perkembangan usia. Ketika dihadapkan pada sesuatu masalah, ia merasa bahwa dia tidak mampu, bodoh dan tak berdaya, tak ada semangat untuk mencoba, tidak ada daya untuk menguji kemampuannya. Hal ini disebabkan karena karakter (psikologi) anak itu telah dibunuh (dihancurkan) oleh orang tua atau sanak-saudaranya dengan stigmatisasi “bodoh”. Hal serupa sudah dan sedang dialami oleh orang Papua yang berada dalam stigmatisasi Negara Indonesia.
Camkanlah bahwa stigmatisasi ini tak akan mampu mematahkan atau meredam perjuangan bangsa Papua untuk mengembalikan jati diri yang telah dirampas dan dihancurkan oleh Negara Indonesia bersama sekutunya yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia Papua. Buktinya bahwa Timur Leste yang dihujani dengan pelbagai stigmatisasi oleh Indonesia, namun mereka berjuang dengan satu tekad penentuan nasib sendiri, maka pada tahun 1999 Timur Leste telah menjadi Negara berdaulat. Tembok stigmatisasi Indonesia yang memenjara Timur Leste telah dihancurkan melalui sebuah referendum yang mengantar pada satu kemenangan yakni “kemerdekaan” Timur Lorosae.
Ironisnya setelah Timur Leste memerdekakan diri pada tahun 1999 melalui pilihan bebas, stigmatisasi itu masih diwacanakan dalam pelbagai kesempatan oleh pejabat Indonesia dan rakyat tertentu dalam upaya membunuh karakter orang Papua untuk tidak berjuang. Misalnya pada bulan Juli 2010 penulis mewawancari KAKANWIL DEPHUKAM Propinsi Papua, (Nasarudin Bunas) mengatakan: “Kemerdekaan itu tidak harus berpisah dari NKRI, bagaimana dia merdeka dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya itulah yang harus diperjuangkan oleh orang Papua. Saya tidak yakin, Papua ini terlepas dan setelah lepas Papua akan sejahtera. Misalnya Timur Leste menjadi negara miskin, setelah merdeka. Saya belum yakin, bahwa Papua merdeka hari ini, saya belum yakin… saya belum yakin”[2] katanya. Inilah cara–cara pejabat Indonesia untuk membangun suatu asumsi dengan parameter pemahamannya yang kontra dengan kenyataan di Timur Leste.
Berikut ini kutipan wawancara dengan seorang korban kekerasan yang pernah mengikuti kegiatan pelatihan di Timur Leste: “jika dibanding dengan Indonesia dan Timur Leste, saya melihat Indonesia belum merdeka secara total. Di Timor Leste kebebasan berpendapat diberi ruang, dan tak ada hambatan dalam penyampaian aspirasi. Ketemu para pejabat, termasuk ketemu presiden Timur Leste pun tidak berbelit-belit, tidak sama seperti di Indonesia…. Saya membayangkan bahwa dalam waktu yang singkat Timur Leste akan maju dibanding dengan NKRI yang sudah genap 65 tahun merdeka secara politik, namun rakyatnya belum merdeka dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lebih penting adalah merdeka dari rasa takut, dikucilkan, dilecehkan, stigmatisasi, ketidak-adilan, dan diskriminalisasi”,[3] kenangnya.
Peradaban bangsa Timor Leste tak dapat dibangun oleh bangsa-bangsa lain di dunia; misalnya Negara Portugal dan Negara Indonesia yang pernah menjajahnya; hanyalah orang Timur Leste yang dapat membangun bangsanya sendiri. Demikian pula peradaban Bangsa Papua tak dapat dibangun oleh bangsa-bangsa lain di dunia yang menepuk dada bahwa merekalah bangsa yang beradab, yang mengagung-agungkan merekalah bangsa maju, terdidik, terlatih, terampil dan ulet. Camkanlah bahwa suatu saat peradaban bangsa Papua akan dibangun oleh putra-putri terbaik bangsa Papua yang terpilih, visioner, terdidik, terlatih, ulet, terampil, inovatif dan kreatif. Inilah kutipan Izak Samuel Keijne yang mengukir-abadikannya di atas sebuah batu: “Bangsa-bangsa lain di dunia tidak akan mampu membangun Tanah Papua, tetapi suatu saat bangsa ini akan bangkit dan akan membangun bangsanya sendiri”. Inilah sebuah visi Tuhan yang disampaikan oleh seorang nabi, hamba Tuhan, sang visioner I. S. Keijne. Dalam pelbagai kesempatan, bangsa Papua selalu mengaminkan visi ini karena visi Tuhan ini pasti akan digenapi.
Bangsa Papua yang Anda stigmatisasi ini, suatu saat ia akan tampil menjadi bangsa yang memberkati bangsa-bangsa. Hari ini Anda merendahkan martabat manusia Papua, hari ini Anda meremehkan peradaban bangsa Papua, tetapi suatu saat, bangsa ini akan mengangkat martabat bangsanya; suatu saat, bangsa ini akan membangun peradaban bangsanya di atas Tiga Hukum Dasar, yakni: Hukum Adat, Hukum Agama dan Hukum Nasional, yang disebut: Tiga Hukum Dasar (foundation law three) yang adalah Tiga Hukum Dasar Pelatak Peradaban Bangsa Papua.
Di atas tiga hukum dasar ini, akan berdirilah suatu peradaban bangsa yang kokoh di Ufuk Timur dengan panji-panji kemegahan jati diri bangsa Papua “Sang Bintang Fajar” yang gilang memilang, dan nyanyian syukur yang menawan hati “Hai Tanahku Papua” serta lambang ketulusan bangsa Papua “Burung Mabruk” yang akan berjaja selamanya di atas sebuah panji-panji kemenangan “Hanya Tuhanlah Pembebas, Raja Kami”.
Demi membangun peradaban bangsa Papua, dibutuhkan pengorbanan yang tiada taranya dari setiap pribadi orang Papua dan simpatisan. Peradaban bangsa Papua harus dibangun di atas beberapa kekuatan, antara lain: “Kekuatan Kita adalah Doa (Alkitab) Kita; Kekuatan Kita adalah Komitmen Kita; Kekuatan Kita adalah Persatuan Kita; Kekuatan Kita adalah Tindakan Kita; dengan berlandaskan kekuatan-kekuatan ini, orang Papua pasti akan membangun peradaban bangsanya.

Jumat, 20 Agustus 2010

NKRI BUKAN SEGALANYA


“NKRI harga mati”, inilah sebuah slogon yang didegungkan oleh kekuatan negara TNI, POLRI, pejabat Negara dan masyarakat tertentu. Slogan ini lahir bukan tiba waktu, tiba akal; akan tetapi slogan ini lahir dari kenyataan bahwa nasionalisme keindonesia makin luntur seiring munculnya gerakan masyarakat pribumi dibeberapa wilayah RI untuk membebaskan diri dari NKRI.
Dengan adanya gerakan pembebasan dibeberapa wilayah di Indonesia ini, maka semangat nasionalisme keindonesia perlu dipertanyakan. Kenapa nasionalisme keindonesiaan makin luntur dan muncullah nasionalisme lain? Menurut pendapat saya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, adanya pemahaman yang mendasar bahwa penentuan nasib sendiri adalah hak segala bangsa yang tidak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; karena pada hakekatnya masyarakat pribumi (bangsa pribumi) memiliki hak yang mutlak untuk mendirikan suatu negara berdaulat, sama seperti bangsa Jawa mendirikan Negara Republik Indonesia;
Kedua, munculnya gerakan membebaskan diri dari NKRI karena Indonesia mengklaim perjuangan pembebasan masing-masing daerah yang melepaskan diri dari penjajahan Belanda dan negara lain. Misalnya perjuangan Pattimura di Ambon-Maluku bukan bermaksud untuk mendirikan NKRI, akan tetapi membebaskan wilayah Ambon-Maluku dari penjajahan negara kolonial Belanda. Menjelang proklamasi, RI mengklaim wilayah Aceh sampai Ambon adalah bagian dari NKRI. Sedangkan untuk Papua, baru pada tanggal 19 Desember 1961 melalui TRIKORA mengklaim Papua adalah bagian dari NKRI. Misalnya RI merekayasa perjuangan Ambon-Maluku menjadi perjuangan untuk mendirikan negara RI. Hasil rekayasa perjuangan tersebut diredupsi ke dalam pendidikan sejarah. Namun, rekayasa sejarah seperti ini tidak memberikan makna yang berarti bagi nasionalisme keindonesiaan. Terbukti bahwa RMS masih tetap eksis untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Ambon-Maluku.
Ketiga, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan dan pelatihan, tidak mampu menggantikan semangat nasionalisme yang sudah tertanam kuat dalam suatu tatanan kehidupan bangsa tertentu karena sistem kekerabatan, budaya, ekonomi dan politik yang dianut oleh bangsa Jawa sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain di Indonesia.
Keempat, pendekatan bangsa Jawa untuk mengindoktrinisasi nasionalisme keindonesiaan ditempuh dengan pendekatan kekerasan, rekayasa dan diskriminasi rasial, maka nasionalisme keindonesiaan itu sangat tidak mungkin menjadi bagian integral dari bangsa-bangsa lain yang ada diantara Sabang sampai Merauke, karena jika ditelusuri nasionalisme keindonesiaan yang diindoktinisasi itu identik dengan jawanisasi.
Kelima, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan, tidak dihayati dan diamalkan oleh para elite politik atau apparatus Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dengan demikian terbukti bahwa melalui tindakannya menunjukkan nasionalisme keindonesiaan yang sempit.
Keenam, Asas Dasar yang menjadi perekat bangsa-bangsa di Indonesia belum ada. Semboyang “Bhineka Tunggal Ika” hanyalah menjadi sebuah kalimat yang tidak mengandung arti yang mengikat bangsa-bangsa yang ada di antara Sabang sampai Merauke yang beraneka ragam budaya, politik, ekonomi dan tananan kemasyarakatan.
Ketujuh, NKRI mengakui dirinya sebagai Negara hukum dan demokrasi, namun terbukti bahwa hukum di Negara ini tidak ditegakkan. Ada istilah yang berkembang di tengah masyarakat bahwa wong gede yang melakukan kejahatan kemanusiaan, termasuk KKN dilindungi oleh Negara, dan atau hukum dapat dibeli dengan uang (kebal hukum dan impunity); sebaliknya, kepada wong cilik hukum bertindak. Wong cilik tak bisa berbuat banyak, mereka hanya menerima keadaan yang terjadi. Fakta membuktikan bahwa kaum jelata menjadi korban dari sebuah praktek hukum yang tidak berkeadilan. Lain lagi dengan penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia adalah demokrasi yang berwajah kekerasan, pemaksaan kehendak, diskriminasi rasial, dan pengekangan. Demokrasi dipenjara oleh sistem Negara Indonesia yang kaku, terlebih aparat Negara, baik TNI dan POLRI. Wajah demokrasi di Indonesia berada di ujung laras senjata dan dikendalikan oleh kekuasaan Negara. Karena itu, tak ada ruang bagi rakyat sipil, khususnya di Tanah Papua untuk menyampaikan aspirasinya.
Kedelapan, tidak ada tokoh Intelektual yang muncul sebagai tokoh pemersatu Sabang sampai Merauke. Pejabat Negara Indonesia baik dari pusat sampai daerah hampir didominasi oleh orang Jawa. Tak ada kesempatan bagi warga Negara lain di luar Jawa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Terbukti bahwa orang nomor satu di Indonesia hanyalah diperuntukkan bagi orang Jawa, maka sesungguhnya wajah NKRI tercoreng dan kedaulatan rakyat dikhianati. Jika demikian, NKRI sesungguhnya sebuah kerajaan Jawa yang direkayasa dan dipaksakan di bawah satu slogan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kesembilan, rakyat Indonesia menjadi korban kapitalisme global karena melalui MoU (nota kesepakatan) Negara Indonesia telah menjual tanah dan kekayaan alamnya kepada negara kapitalis. Negara Indonesia hanya sibuk mengurus bingkai NKRI, sementara isi bingkainya tidak diurus, bahkan isi bingkainya dijual kepada para Investor asing (kapitalisme) dengan tujuan menghancurkan tanah dan menguras kekayaan yang terkandung dalam bingkai NKRI, dengan demikian kelangsungan hidup masyarakat setempat terancam, yang dalam kurung waktu tertentu akan berakibat pada pemusnahan etnis.
Kesepuluh, meningkatnya kejahatan Negara terhadap masyarakat pribumi. Kejahatan Negara itu dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yakni secara nyata dan juga terselubung. Kebanyakan kejahatan Negara dikemas rapi dalam pelbagai kebijakan, ini yang disebut kejahatan Negara terselubung. Dengan demikian, Negara tak mampu melindungi masyarakat, justru kaki tangan Negara melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil.
Kesebelas, Negara menciptakan ketidak-adilan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Kebijakan pembangunan Pemerintah Indonesia tidak memihak kepada masyarakat pribumi, misalnya di Tanah Papua; pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan bias pendatang; masyarakat pribumi Papua belum tersentuh dengan pelbagai kebijakan pembangunan yang digemborkan sejak OTSUS jilid I melalui UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Otonomi bagi Propinsi Iran Jaya sampai OTSUS jilid II melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Dan seterusnya.

Inilah beberapa faktor yang menurut saya terpicuhnya kebangkitan gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI. Negara Indonesia menghadapi pelbagai gerakan pembebasan dengan pelbagai manufer yang bertujuan untuk menjaga keutuhan NKRI. Atas nama negara, rakyat sipil yang tidak berdosa dibantai; menerapkan pelbagai kebijakan untuk membasmi masyarakat pribumi, sambil melahirkan pelbagi slogan untuk membangkitkan nasionalisme keindonesiaan.
Untuk menghidupkan semangat nasionalisme, para apparatus pejabat dan TNI serta POLRI melahirkan sebuah slogan: “Merdeka.....merdeka..... sekali merdeka tetap merdeka”. Slogan ini diindoktrinisasikan sedemikian rupa melalui pelbagai kesempatan, terlebih pada menjelang hari HUT kemerdekaan. Slogan ini diajarkan agar diucapkan oleh setiap warga Negara Indonesia. Ironisnya slogan ini hanyalah menjadi isapan jempol belaka karena semangat nasionalisme sendiri bisa timbul karena telah dibesarkan, dididik, bahkan telah diajar oleh Negara Indonesia mulai dari bangku Taman Kanak-Kanak (TK), namun seiring bertambahnya usia (dewasa), bertambah pula wawasan dan muncullah suatu kesadaran bahwa sebenarnya nasionalisme yang diajarkan melalui pendidikan dan pengajaran adalah sebuah nasionalisme kejawaan yang diindoktrinisasi menjadi nasionalisme keindonesiaan yang direkayasa melalui suatu proses pemanipulasian sejarah perjuangan masing-masing masyarakat pribumi yang ada di antara Sabang sampai Merauke.
Mungkin degungan semangat nasionalisme sangat pantas muncul pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, namun sesungguhnya nasionalisme keindonesiaan itu sudah, sedang dan akan luntur seiiring waktu berlalu. Slogan “NKRI harga mati” hanyalah slogan belaka. Buktinya Timor Leste pada tahun 1999 melepaskan diri dari NKRI. Dengan berpisahnya Timor Leste menandakan bahwa telah menodai Pancasila sesuai dengan sila ketiga yang mengatakan Persatuan Indonesia. Hal ini memang terjadi terdorong oleh beberapa faktor penyebab di atas.
Dengan pisahnya Timor Leste berarti Indonesia tidak bersatu, bahkan tidak akan utuh lagi. Negara Indonesia akan terpecah-pecah. Ini bukan rekayasa, ini bukan mimpi, tetapi pasti akan terjadi. Kita belajar dari pengalaman Unisoviet; ia negara yang super power, namun ternyata hancur juga.
Tentang kehancuran NKRI dipridiksikan oleh Djuyoto Suntani dalam bukunya yang berjudul: Tahun 2015 Indonesia “Pecah”. Dalam kesimpulan buku ini, ia mengakhiri dengan sebuah kalimat: “Sampai jumpa pada buku: “17 Negara Baru di Nusantara”.
Dengan demikian sampailah kita pada satu kesimpulan: “NKRI Bukan Segalanya” karena pada hakekatnya penentuan nasib sendiri tak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; yang juga dijamin oleh Pembukaan UUD 1945 alinea pertama; dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; dan Kovenan Internasional tentang Masyarakat Pribumi.

Minggu, 15 Agustus 2010

Papua Menggugat: New York Agreemet, 15 Agustus 1962


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengklaim bahwa Papua adalah Bagian final dari NKRI alias “NKRI harga Mati”. Sementara rakyat Papua mengatakan bahwa Papua bukan bagian dari NKRI alias “ Merdeka Harga Mati”. Jika Jakarta mengatakan Papua Barat bagian Final dari NKRI, maka harus menunjukan fakta – fakta ilmiah, fakta sejarah, politik, budaya, ekonomi, dan hukum internasional yang membenarkan klaim tersebut. Sebaliknya, rakyat Papua harus membuktikan pernyataannya bahwa Papua bukan bagian dari NKRI, “Merdeka Harga Mati” berdasarkan Fakta-fakta ilmiah tersebut.
Komitmen bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri berdasarkan fakta. Sejarah Papua adalah sejarah ragam cara penindasan yang diakibatkan oleh sistem penindasan yang diakibatkan oleh penjajahan New Kolonialis Indonesia dan penghisapan sumber-sumber ekonomi oleh Negara-negara kapitalis AS dan sekutunya. Untuk menyelamatkan bangunan NKRI di Papua, berbagai bentuk Operasi Militer Indonesia dilakukan, akibatnya 100 ribu orang Papua terbunuh menjelang PEPERA 1969, berbagai operasi militer masih dilakukan hingga saat ini yang terstruktur atau sistematis yang mengarah pada pemusnahan etnis.
Akar masalah Papua yang melahirkan buah–buah kejahatan kemanusiaan adalah PEPERA 1969, yang hasilnya dinyatakan cacat hukum dan cacat moral. Cacat hukum karena dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan Perjanjian New York Agreement, 15 Agustus 1962; dan cacat moral karena dalam proses pembuatannya tidak melibatkan orang Papua sebagai subyek yang disengketakan, karena dunia memandang Tanah Papua adalah tanah tak bertuan; jika bertuan mereka akan melibatkan dalam proses pembuatan New York Agreement; yang terjadi hanya melibatkan RI, Belanda, AS dan PBB.
New York Agreement yang lahir pada tanggal 15 Agustus 1962 adalah payung hukum untuk menyelesaikan sengketa Politik atas status Papua antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia. Dalam Perjanjian New York diatur tiga hal penting, pertama; penyerahaan kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah Belanda kepada UNTEA. Kedua. Penyerahaan kekuassaan dari UNTEA kepada Indonesia. Ketiga, Penentuan nasib Sendiri pada tahun 1969.
Pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri 1969 yang cacat hukum dan cacat moral itu sudah diketahui oleh Amerika dan sekutunya yang menjunjung tinggi penegakkan HAM, Hukum Internasional, Demokrasi. Negara-negara ini pula yang telah melahirkan PBB. Namun masalah Papua belum juga diselesaikan hingga saat ini, kalaupun populasi orang Papua menjadi minoritas di tanah sendiri dan malah sudah mengarah pada pemusnahan etnis (genocide).
Pelbagai perundingan yang dilakukan dalam rangka menangani status Papua, orang Papua tidak pernah dilibatkan, misalnya Perjanjian New York dilakukan secara sepihak, sementara orang Papua sebagai pemilik tanah yang disengketakan sama sekali tidak dlibatkan. Terbukti bahwa pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI ditempuh dengan cara tidak demokratis dan tidak sesesuai dengan mekanisme internasional. Tindakan ini dikategorikan ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mengarah pada pemusnahan etnis dan penghancuran tanah (hutan) Papua yang sudah dan sedang terjadi di Tanah Papua adalah merupakan akibat dari buah-buah kejahatan pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui mekanisme yang cacat hukum dan moral.
Demi menyelamatkan Tanah dan manusia Papua yang sedang menuju kehancuran, maka pada kesempatan ini, kami menyatakan bahwa:
1) Bangsa Papua dengan tegas Menolak dan Menggugat New York Agreement, 15 Agustus 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.
2) Segera meninjau kembali dan mencabut perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962, serta meninjau kembali PEPERA dan mencabut resolusi PBB 2504 karena cacat hukum dan moral.
3) Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera bertanggung jawab atas pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI yang mengakibatkan pemusnahan etnis dan penghancuran tanah (hutan) Papua.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan sesungguhnya, dan untuk diperhatikan serta dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait demi penyelamatan manusia dan tanah Papua yang sedang menuju kehancuran.

Sabtu, 07 Agustus 2010

SEGERA HENTIKAN KOPROMI POLITIK



Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah merupakan gula-gula politik Jakarta bersama kroni-kroninya untuk meredam aspirasi politik Papua Merdeka yang mengkristal diseantero Tanah Papua sampai menggema sampai manca negara. UU OTSUS Papua diterapkan di Tanah Papua bukan merupakan niat baik Jakarta untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua, bukan juga untuk membangun sumberdaya manusia Papua, akan tetapi melalui paket politik ini Negara Indonesia membunuh Sumber Daya Manusia Papua. Dan juga OTSUS diterapkan bukan untuk melestarikan tanah dan kekayaan alam Papua, akan tetapi menghancurkan tanah dan sumber daya alam Papua. Dengan demikian OTSUS diberikan bukan hanya meredam aspirasi orang Papua, tetapi ada tujuan terselubung yang sangat membahayakan orang Papua, yakni menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua, serta memusnahkan etnis bangsa Papua.

Para kroni-kroni Negara Indonesia yang adalah antek-antek Negara kapitalis di manca Negara memberikan dukungan atas paket politik Jakarta dengan menyalurkan dana OTSUS. Mengapa Negara-negara kapitalis ini mendukung OTSUS Papua dengan memberikan dana OTSUS? Jawabannya adalah Negara Kapitalisme memiliki kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Dana yang diberikan oleh para pendonor OTSUS, bukan karena niat baik mereka untuk membangun Tanah Papua, bukan karena peduli kemanusiaan, akan tetapi dibalik itu melalui dana yang diberikan membangun jembatan permanen bagi masuknya Investasi di Tanah Papua. Para kaum pemodal itu lihai. Dana OTSUS yang diberikan Negara pendonor tidak mengalami kerugian, karena mereka akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan masuknya Investasi di Tanah Papua.

Upaya berikutnya adalah Negara pendonor melalui para investor mendekati kepala Negara untuk membuka investasi baru di Tanah Papua dengan sebuah perjanjian yang menjanjikan. Tentu kepala Negara tidak menolak permintaan para Negara kapitalis ini karena mereka telah berjasa dalam memberikan dana OTSUS. Melalui sebuah perjanjian (MoU), tanah milik Masyarakat Adat dijual kepada Negara-negara Kapitalis. Disaat presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati menandatangani sebuah perjanjian kontrakan Investasi di Tanah Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua, maka pada saat yang sama pula tanah dan rakyatnya telah dijual dan diserahkan kepada Negara negara Kapitalis. Dengan demikian tanah dan kekayaan alam serta rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan serta diberdayakan, justru dengan sebuah tindakan perjanjian (MoU) melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan.

Disaat penandatangan MoU, pada saat yang sama pula presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati telah mengkhianti sebuah konstitusi (UUD 1945). Ini berarti telah mengkhianati kedaulatan Negara Indonesia. Dengan demikian tindakan ini dikategorikan tindakan makar dalam konteks menjual tanah dan sumber daya alam, serta masa depan rakyatnya telah dijual kepada Negara kapitalis dan dengan demikian Negara Indonesia bukan Negara berdaulat, akan tetapi Negara boneka yang dapat dipermainkan oleh negara-negara kapitalis.

Jika demikian, slogan “NKRI” harga mati dapat dipertanyakan. Jika NKRI harga mati mengapa tanah dan kekayaan alam di Indonesia dijual kepada negara-negara kapitalis melalui investor asing? Rakyat Indonesia semestinya mengadili para pemimpin pemerintahan serta legislatif karena justru mereka inilah yang menjual tanah dan kakayaan alam di Indonesia dijual kepada negara kapitalis demi kepentingan perut para elit tertentu dan menguntungkan para investor asing dengan negara kapitalis. Seharusnya para elit inilah yang melakukan perong-rongan terhadap suatu kedaulatan rakyat dengan tindakan menjual tanah dan kekayaan alam yang terkandung dalam seluruh wilayah Indonesia yang kini menjadi konsesi Investor asing.

UU OTSUS Papua adalah suatu produk politik bagi kepentingan Jakarta dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI; dan disisi lain UU OTSUS Papua adalah suatu produk ekonomi bagi kepentingan para negara kapitalis. OTSUS Papua menjadi tembok penghalang bagi penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua karena OTSUS ini diback up oleh negara-negara kapitalisme global demi kepentingan ekonomi semata.

Negara Indonesia menghalkan pelbagai cara untuk mempertahankan Papua menjadi bagian dari NKRI. Setiap kesempatan jika petinggi negara Indonesia ke manca Negara, mereka selalu mengkompanyekan bahwa pemerintah Indonesia telah menyelesaikan pelbagai masalah Papua melalui OTSUS Papua; jika ada rakyat Papua protes atas kegagalan OTSUS, mereka berkompanye bahwa pemerintah Indonesia akan mengupayakan menjalankan UU OTSUS dengan serius. Ketika rakyat Papua meminta referendum, maka para elite Indonesia mengatakan bahwa OTSUS adalah solusi final bagi penyelesaian masalah Papua.

Memang para elit politik Indonesia ini lebih licik melebihi ular beludak. Ular beludak tidak memiliki kemampuan, ia hanya memiliki kelicikan dilidahnya dan kelincahan ditubuhya. Setiap aksi dari orang Papua, pemerintah Indonesia menyikapi dengan pelbagai kelicikan. Ketika OTSUS gagal, pemerintah katakan bukan OTSUS gagal, tetapi tidak berhasil. Tindakan ini menunjunkan suatu ketidak-mampuan untuk membangun sumber daya manusia orang Papua, menunjukkan ketidak-mampuan untuk membangun Tanah dan orang Papua.

Kegagalan OTSUS Papua sudah membuktikan bahwa kegagalan negara Indonesia untuk mengindonesiakan bangsa Papua. Kegagalan OTSUS Papua menunjukan ketidak-mampuan negara Indonesia untuk membangun Tanah dan orang Papua. Hal ini memang terjadi karena bangsa Papua bukan ras melayu, bangsa Papua bukan juga pendiri NKRI, akan tetapi bangsa Papua adalah ras negroid rumpun Melanesia yang tidak dapat dipisahkan dari kawasan negara-negara pasifik. Bangsa Papua juga memiliki sejarah peradabannya sendiri, sejarah perjuangannya sendiri. Pada tanggal 19 Desember 1961 barulah presiden Soekarno mengklaim bangsa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI. Dengan kelicikannya, negara Indonesia dibayang-bayangi oleh Amerika Serikat demi kepentigan ekonomi dan politik, bangsa Papua dianeksasikan ke dalam NKRI melalui suatu percaturan politik tingkat tinggi yang sangat tidak sesuai dengan mekanisme internasional.

OTSUS Papua adalah produk rekayasa negara kapitalis yang ditawarkan kepada negara Indonesia untuk diterapkan di Tanah Papua demi kepentingan ekonomi bagi negara-negara kapitalis, dan demi kepentingan politik bagi Negara Indonesia alias mempertahankan keutuhan NKRI. Negara-negara kapitalis di era OTSUS membuka investasi semakin banyak seiring dengan gagasan Barnabas Suebu yang adalah antek negara kapitalis, bersama para investor menguras dan menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua; sementara Negara Indonesia menjaga bingkai NKRI. Para elite birokrasi bersama TNI dan POLRI diback up BIN, BAKIN dan BAIS menjadi penjaga bingkai NKRI yang setia, sementara negara-negara kapitalis melalui para investor asing menghancurkan isi bingkai NKRI: baik tanah, kekayaan alam yang berdampak pada kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Para elit bersama TNI, POLRI menjaga tuan investor agar menguasai tanah dan kekayaan alam.

Apa yang didapat oleh masyarakat pemilik hak ulayat? Yang diterima dari akibat eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya adalah kehilangan tanah, dusun sagu, kayu bakar, rotan, dammar, hewan, binatang, air bersih dan lain sebagainya yang berdampak langsung pada terancamnya hak hidup bagi pemilik hak ulayat. Dengan demikian OTSUS Papua bukan bertujuan untuk melindungi dan melestarikan segala kekayaan alam dan tanah yang ada, namun membumihanguskan segala yang ada di Tanah Papua, termasuk pemilik hak ulayat (orang Papua) yang mendiami di atasnya.

Sudah terbukti bahwa paket politik UU OTSUS Papua bukan penyelesaian masalah Papua, akan tetapi OTSUS hanya menambah masalah baru dan ternyata OTSUS telah mengancam hak hidup orang Papua, maka dari awal tahun 2001 bangsa Papua telah menolak paket politik ini; namun negara Indonesia didukung para sekutunya menerapkan di tanah Papua; setelah empat tahun kemudian, melalui sidang III DAP yang berlangsung di Manokwari pada awal tahun 2005 menyatakan bahwa OTSUS gagal, maka pada tanggal 12 Agustus 2005 telah dikembalikan ke Jakarta melalui DPRP dalam kemasan peti mayat OTSUS. Namun, aksi pengembalian ini dimanfaatkan pemerintah Indonesia dengan mempercepat pembentukan MRP dan mempercepat penguatan propinsi IJB dengan sebuah payung hukum.

Kalaupun negara Indonesia mempertahakan OTSUS di tanah Papua, namun melalui Musyawarah MRP bersama orang asli Papua yang digelar antara tanggal 9 dan 10 Juni 2010 menyatakan bahwa OTSUS telah gagal total, maka harus dikembalikan ke Jakarta. Melalui musyawarah yang difasilitasi oleh MRP inilah melahirkan 11 (sebelas) rekomendasi. Sebelas rekomendasi ini telah ditetapkan oleh MRP melalui sebuah pleno MRP yang dihadiri oleh 45 anggota MRP pada tanggal 16 Juni 2010. MRP bersama orang asli Papua telah mengantar sebelas rekomendasi ke DPRP pada tanggal 18 Juni 2010 untuk ditindaklanjuti melalui sebuah mekanisme DPRP yakni Sidang Paripurna.

Puluhan ribu massa pendemo menduki taman Imbi, dan mendesak segera mengadakan sidang paripurna; aksi damai yang sama pula digelar dipelbagai tempat, baik dalam negeri dan luar negeri; namun para pimpinan DPRP tidak ada ditempat. Hanyalah beberapa anggota DPRP beserta seorang pimpinan (wakil ketua I-Yunus Wonda) menerima aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua. Pada kesempatan itu, pihak DPRP menawarkan tiga minggu untuk mempersiapkan diri untuk dibahas dalam mekanisme DPRP. Untuk itu terjadi penandatangan nota kesepakatan (MoU) antara DPRP dan MRP serta perwakilan massa aksi damai. Untuk menangih janji DPRP, pada tanggal 8 Juli 2010 puluhan ribuh massa aksi damai longmars dan menduduki di DPRP selama dua hari satu malam, namun kebanyakan anggota dan para pimpinan DPRP tidak ada ditempat.

Pada tanggal 9 Juli 2010 pihak kepolisian memblokade di Taman Imbi dengan peralatan senjata lengkap hendak membubarkan massa pada jam empat sore. Atas upaya keras dari beberapa tim loby berusaha menghadirkan wakil ketua III DPRP (Komarudin Watabun). Pada kesempatan itu Kamarudin didampingi beberapa anggota DPRP menyampaikan permohonan maaf dan diminta untuk ditunda dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Di bawah tekanan represi aparat POLRI, perwakilan massa aksi membacakan sebuah MoU yang berisi memberikan waktu bagi DPRP sampai pada tanggal 19 Juli 2010 untuk mengadakan sidang paripurna. Namun, MoU ini tidak sempat ditanda-tangani karena adanya represi aparat POLRI besiaga satu untuk membubarkan massa secara paksa. Kesempatan ini dimanfaatkan baik oleh DPRP dengan memberikan suatu janji bahwa pihak DPRP akan memanggil para perwakilan massa aksi damai pada tanggal 12 Juli 2010 untuk membicarakan langkah-langkah kongkrit yang akan ditempuh dalam memproses aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua.

Janji Kamarudin Watubun memang ditepati. Hari Senin, tanggal 12 Juli 2010 para perwakilan pimpinan komponen bangsa Papua diundang oleh DPRP. Pada kesempatan itu, semua pimpinan DPRP berada ditempat dan ketua DPRP (John Ibo) memimpin pertemuan. Pertemuan ini, selain dihadiri oleh perwakilan komponen bangsa Papua, dihadiri juga oleh anggota DPRP. Dalam pertemuan ini ada anggota DPRP berargumentasi untuk melemahkan desakan komponen bangsa Papua. Terlihat bahwa ada beberapa anggota DPRP mendapat tekanan dari pimpinan partainya dan juga kepala Negara Indonesia, maka ada upaya untuk mengalihkan tuntutan komponen bangsa Papua. Pada akhirnya disepakti bersama bahwa pada tanggal 3 Agustus 2010 akan membentuk Tim Khusus untuk mempersiapkan suatu forum ilmiah untuk membedah OTSUS, di mana dalam forum itu semua pihak, baik organisasi pemerintahan dan non pemerintahan serta komponen bangsa Papua menyampaikan kajiannya yang diperkuat dengan indikator kegagalan atau keberhasilan OTSUS. Pimpinan DPRP (John Ibo) pada kesempatan itu mememerintahkan Komisi A DPRP untuk mengkoordinasikan pimpinan eksekutif, legislatif, komponen akademisi, LSM dan Agama serta organisasi kemasyarakatan di Tanah Papua agar pada tanggal 3 Agustus 2010 membentuk Tim Khusus.

Pada tanggal 2 Agustus 2010 pada malam hari beberapa pimpinan elemen gerakan dikagetkan dengan sebuah surat yang dilayangkan oleh DPRP kepada perwakilan komponen bangsa Papua yang berisi penundaan pertemuan yang direncanakan tanggal 3 Agustus 2010 ditunda lagi selama dua minggu. Jika dihitung, maka waktu yang diberikan oleh DPRP jatuh tempo pada tanggal 17 Agustus 2010. Kalaupun demikian, pada tanggal 3 Agustus 2010 perwakilan komponen bangsa Papua mendatangi DPRP menangih janjinya. Melalui loby yang memakan waktu berjam-jam, pada jam 15.00 WPB menggelar pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua dengan pihak DPRP. Kalaupun ketua DPRP (John Ibo) berada ditempat, namun Ketua dan Sekretaris Komisi A yang memimpin pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua. Dalam pertemuan itu, Ketua Komisi A DPRP bersama sekretarisnya menyampaikan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan oleh DPRP, maka janji DPRP pada tanggal 12 Juli 2010 tidak dipenuhi.

Pada kesempatan itu, beberapa perwakilan komponen bangsa Papua menyampaikan pandangannya, yang intinya harus ada mekanisme DPRP untuk memutuskan aspirasi yang telah disampaikan yakni melalui Sidang Paripurna. Namun apa yang terjadi? Pihak DPRP memaksakan bahwa DPRP bersama massa aksi damai akan mengantar sebelas rekomendasi ke Gubernur Papua untuk diteruskan ke Jakarta antara tanggal 20 s/d 25 Agustus 2010. Sikap DPRP ini telah menunjukkan bahwa ada upaya untuk tetap mempertahankan OTSUS yang gagal total dan lebih dari itu ada upaya terselubung untuk menghancurkan tanah, kekayaan dan orang Papua melalui pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di Tanah Papua, serta melemahkan semangat perjuangan bangsa Papua. Ini sebuah tindakan DPRP yang sangat tidak bermanusiawi dan memalukan.

Momentum pengembalian OTSUS jilid II melalui lembaga negara yakni MRP dan di antar ke DPRP adalah momentum terpenting untuk mengawal perjuangan bangsa Papua. Namun, aspirasi murni yang dikeluarkan dalam Musyawarah MRP bersama orang asli Papua itu terkandas di DPRP. Lembaga yang katanya penampung dan pejuang aspirasi rakyat Papua itu tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Lembaga DPRP bagai tong sampah yang menerima aspirasi dari masyarakat dan dibuang ke dalam tong sampah lembaga ini. Aspirasi yang disampaikan tidak diproses melalui mekanisme-mekanisme yang ada di DPRP, tetapi kebanyakan aspirasi, apalagi aspirasi yang berkaitan dengan menentukan nasib sendiri, para pekerja yang berkerja di tong sampah lembaga ini, aspirasi dari orang Papua dibuang dan dibakar.

Ironis memang. Anehnya adalah bahwa dilembaga tong sampah aspirasi ini kebanyakan para pekerja adalah putra daerah (asli) Papua. Namun, para pekerja tertentu yang bekerja dilembaga tong sampah aspirasi ini bekerja atas kemauan tuannya yang ada di Jakarta; mereka bekerja apa yang dikehendaki mandornya yang ada di Jakarta. Para pekerja murahan tertentu yang bekerja di lembaga tong sampah ini tidak memiliki hati nurani, tidak memiliki rasa kemanusiaan, tidak memiliki rasa senasib, tidak memiliki rasa solidaritas dengan para kaum jelata bangsa Papua yang menduduki di tong sampah sampai berhari-hari menantikan sebuah keputusan resmi dari pekerja lembaga tong sampah ini.

Harapan akan digelarnya Sidang Paripurna menjadi sirnah ketika para elite di seluruh Tanah Papua bekerja sama dengan para elite di Jakarta untuk melemahkan momentum yang sedang bergulir dengan pelbagai bentuk tindakan yang sangat memalukan. Hasil rekomendasi Musyawarah MRP bersama orang asli Papua berujung pada Revisi UU OTSUS dan melahirkan pelbagai perdasi-perdasus, serta Peraturan Pemerintah; tentu juga disertai dengan pembentukan MRP periode ke II dan diikuti pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten dan distrik di seluruh Tanah Papua.

Dalam rangka itu para elite Papua di seluruh Tanah Papua Barat pada tanggal 5 Agustus 2010 diundang oleh presiden SBY untuk melemahkan momentum pengembalian OTSUS dengan menggadaikannya dengan revisi UU OTSUS disertai perangkat hukum lainnya dan tentu kebijakan lain yang tidak memihak orang Papua disiapkan bersama dalam kesempatan ini juga. Para elite Papua ini menjadi boneka Jakarta dan juga menjadi pembunuh darah dingin secara tidak langsung terhadap orang asli Papua yang sedang menuju kepunahan etnis. Para elite politik Papua inilah yang sudah, sedang dan akan menjual tanah dan kekayaan alam Papua serta menghancurkan masa depan hidup orang asli Papua dengan tindakan mereka yang kompromi dengan OTSUS Papua yang sudah gagal total. Jika kedua Gubernur dan para bupati di tanah Papua serta DPR di tanah Papua serta MRP menerima pelbagai paket politik revisi OTSUS Papua dan kebijakan politik kotor lainnya, maka secara tidak langsung para elite Papua inilah yang menjual bangsa Papua ke negara neokolonial Indonesia dan sekutunya untuk dibumihanguskan melalui pelbagai pendekatan dan penerapan kebijakan yang tidak memajukan dan tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Upaya revisi UU OTSUS ini telah digembor-gemborkan oleh kaki tangan neo-kolonial Indonesia melalui pelbagai kesempatan, entah lewat diskusi, seminar, loka-karya dan dilansir melalui pelbagai media cetak dan elektronik. Ada dua lembaga perpanjangan pemerintah yang secara nyata-nyata tampil menjadi pahlawan untuk mempertahankan OTSUS di Papua adalah ICS dan Demokratik Centre. Melalui wadah-wadah ini diback up oleh wadah-wadah lain yang wajahnya tersembunyi telah mengadakan seminar sehari di Hotel Sentani Indah dengan menghadirkan perwakilan orang Papua sebanyak 70 orang dari pelbagai daerah Papua pada tanggal 21 Juli 2010. Tujuh puluh orang Papua yang tidak tahu menahu dengan tujuan terselubung digelarnya seminar itu, seolah-olah memberikan legitimasi terhadap OTSUS yang sudah gagal total dengan melahirkan sebuah draft PERDASI tentang pembentukan MRP periode II yang sudah dirancang dan disiapkan oleh perpanjangan pemerintah Indonesia di Tanah Papua.

Tindakan para elite politik di seluruh Papua ini sangat memalukan. Gelombang demonstrasi sudah dan sedang mewarnai Tanah Papua dan di luar Papua dalam rangka menolak dan mengembalikan paket politik Jakarta yang tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua, namun pada saat yang bersamaan pula, para elite politik Papua ini telah membangun kompromi politik dengan Jakarta untuk menerapkan paket politik yang berikutnya.

Agar momentum pengembalian OTSUS ini melemah, maka lembaga DPR yang ada di Tanah Papua tidak melaksanakan tugasnya memproses dan membawa aspirasi MRP bersama orang asli Papua melalui mekanisme DPRP yang ada, misalnya BANMUS dan diputuskan dalam sidang paripurna. Ulur-ulur waktu yang dilakukan DPR di Tanah Papua adalah merupakan suatu tindakan kaki tangan musuh dalam upaya menggolkan setingan Jakarta untuk menawarkan dan menerapkan kebijakan yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi yang tujuannya melumpuhkan atau menghancurkan tanah dan orang Papua.

Jika inilah yang terjadi, maka justru para elite pilitik yang adalah orang Papua telah menjual seluruh angkasa raya Papua kepada negara neokolonial dan sekutunya hanya demi kepentingan politik dan ekonomi semata. Jika Revisi OTSUS dan perangkat hukum lainnya serta paket politik lainnya diterima oleh para elite politik orang Papua, maka sudah jelas bahwa mereka ini menjadi pengkhianat terhadap perjuangan luhur bangsa Papua dan dengan tindakan mereka telah melecehkan jati diri orang Papua.

Menyikapi dinamika politik yang sudah, sedang dan akan mengemuka di Tanah Papua, maka pada kesempatan ini kami menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
1) Segera menghentikan upaya kompromi politik dengan Indonesia yang sudah dan sedang diperjuangkan oleh elite politik di Tanah Papua.
2) Segera menghentikan upaya revisi UU OTSUS Papua dan penerapan kebijakan politik lain di seluruh Tanah Air Papua karena OTSUS sudah terbukti gagal total dan tak dapat diterapkan kembali lagi.
3) Segera menghentikan upaya politik devide et impera (politik adu domba) di antara orang Papua.
4) DPR Papua dan DPRD Papua Barat segera membawa sebelas rekomendasi melalui mekanisme yang ada dilembaga terhormat ini dan diputuskan melalui sidang paripurna dan selanjutnya diserahkan ke kedua Gubernur di Tanah Papua untuk dikembalikan paket politik OTSUS ke Jakarta dan para sekutunya.
5) Segera menghentikan semua Investasi di Tanah Papua sebelum masalah Papua dibahas dan dituntaskan melalui suatu mekanisme Internasional.
6) Diserukan kepada segenap rakyat semesta Papua bahwa:
a) Jangan tergiur dengan pelbagai tawaran murahan yang ditawarkan Negara Indonesia melalui tim sukses NKRI karena segala bentuk tawaran murahan Indonesia dengan tujuan menghancurkan tanah dan sumber daya alam serta memusnahkan orang asli Papua.
b) Jangan terpancing dengan pelbagai isu murahan yang memecah-belah persatuan kita, kita tetap bersatu, tetap solid dan berjuang bersama untuk menentukan masa depan bangsa Papua.
7. Diserukan kepada segenap komponen bangsa Papua segera melakukan konsolidasi total untuk melakukan perlawanan total melalui aksi-aksi damai terhadap pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di seluruh Tanah Papua Barat.
8. Diserukan kepada masyarakat Internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keadilan, kebenaran, demokrasi dan Hak Asasi Manusia terlebih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil langkah-langkah kongrit dalam rangka menyelesaikan sengketa atas Status Tanah Papua Barat sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dalam menegakkan kemanusiaan di planet bumi ini.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan sesungguhnya dan dikeluarkan untuk diperhatikan serta dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait demi menegakkan harkat dan martabat orang Papua sama seperti manusia lain di planet bumi ini.

Port Numbay: Sabtu, 7 Agustus 2010

“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”