Jumat, 20 Agustus 2010

NKRI BUKAN SEGALANYA


“NKRI harga mati”, inilah sebuah slogon yang didegungkan oleh kekuatan negara TNI, POLRI, pejabat Negara dan masyarakat tertentu. Slogan ini lahir bukan tiba waktu, tiba akal; akan tetapi slogan ini lahir dari kenyataan bahwa nasionalisme keindonesia makin luntur seiring munculnya gerakan masyarakat pribumi dibeberapa wilayah RI untuk membebaskan diri dari NKRI.
Dengan adanya gerakan pembebasan dibeberapa wilayah di Indonesia ini, maka semangat nasionalisme keindonesia perlu dipertanyakan. Kenapa nasionalisme keindonesiaan makin luntur dan muncullah nasionalisme lain? Menurut pendapat saya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, adanya pemahaman yang mendasar bahwa penentuan nasib sendiri adalah hak segala bangsa yang tidak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; karena pada hakekatnya masyarakat pribumi (bangsa pribumi) memiliki hak yang mutlak untuk mendirikan suatu negara berdaulat, sama seperti bangsa Jawa mendirikan Negara Republik Indonesia;
Kedua, munculnya gerakan membebaskan diri dari NKRI karena Indonesia mengklaim perjuangan pembebasan masing-masing daerah yang melepaskan diri dari penjajahan Belanda dan negara lain. Misalnya perjuangan Pattimura di Ambon-Maluku bukan bermaksud untuk mendirikan NKRI, akan tetapi membebaskan wilayah Ambon-Maluku dari penjajahan negara kolonial Belanda. Menjelang proklamasi, RI mengklaim wilayah Aceh sampai Ambon adalah bagian dari NKRI. Sedangkan untuk Papua, baru pada tanggal 19 Desember 1961 melalui TRIKORA mengklaim Papua adalah bagian dari NKRI. Misalnya RI merekayasa perjuangan Ambon-Maluku menjadi perjuangan untuk mendirikan negara RI. Hasil rekayasa perjuangan tersebut diredupsi ke dalam pendidikan sejarah. Namun, rekayasa sejarah seperti ini tidak memberikan makna yang berarti bagi nasionalisme keindonesiaan. Terbukti bahwa RMS masih tetap eksis untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Ambon-Maluku.
Ketiga, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan dan pelatihan, tidak mampu menggantikan semangat nasionalisme yang sudah tertanam kuat dalam suatu tatanan kehidupan bangsa tertentu karena sistem kekerabatan, budaya, ekonomi dan politik yang dianut oleh bangsa Jawa sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain di Indonesia.
Keempat, pendekatan bangsa Jawa untuk mengindoktrinisasi nasionalisme keindonesiaan ditempuh dengan pendekatan kekerasan, rekayasa dan diskriminasi rasial, maka nasionalisme keindonesiaan itu sangat tidak mungkin menjadi bagian integral dari bangsa-bangsa lain yang ada diantara Sabang sampai Merauke, karena jika ditelusuri nasionalisme keindonesiaan yang diindoktinisasi itu identik dengan jawanisasi.
Kelima, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan, tidak dihayati dan diamalkan oleh para elite politik atau apparatus Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dengan demikian terbukti bahwa melalui tindakannya menunjukkan nasionalisme keindonesiaan yang sempit.
Keenam, Asas Dasar yang menjadi perekat bangsa-bangsa di Indonesia belum ada. Semboyang “Bhineka Tunggal Ika” hanyalah menjadi sebuah kalimat yang tidak mengandung arti yang mengikat bangsa-bangsa yang ada di antara Sabang sampai Merauke yang beraneka ragam budaya, politik, ekonomi dan tananan kemasyarakatan.
Ketujuh, NKRI mengakui dirinya sebagai Negara hukum dan demokrasi, namun terbukti bahwa hukum di Negara ini tidak ditegakkan. Ada istilah yang berkembang di tengah masyarakat bahwa wong gede yang melakukan kejahatan kemanusiaan, termasuk KKN dilindungi oleh Negara, dan atau hukum dapat dibeli dengan uang (kebal hukum dan impunity); sebaliknya, kepada wong cilik hukum bertindak. Wong cilik tak bisa berbuat banyak, mereka hanya menerima keadaan yang terjadi. Fakta membuktikan bahwa kaum jelata menjadi korban dari sebuah praktek hukum yang tidak berkeadilan. Lain lagi dengan penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia adalah demokrasi yang berwajah kekerasan, pemaksaan kehendak, diskriminasi rasial, dan pengekangan. Demokrasi dipenjara oleh sistem Negara Indonesia yang kaku, terlebih aparat Negara, baik TNI dan POLRI. Wajah demokrasi di Indonesia berada di ujung laras senjata dan dikendalikan oleh kekuasaan Negara. Karena itu, tak ada ruang bagi rakyat sipil, khususnya di Tanah Papua untuk menyampaikan aspirasinya.
Kedelapan, tidak ada tokoh Intelektual yang muncul sebagai tokoh pemersatu Sabang sampai Merauke. Pejabat Negara Indonesia baik dari pusat sampai daerah hampir didominasi oleh orang Jawa. Tak ada kesempatan bagi warga Negara lain di luar Jawa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Terbukti bahwa orang nomor satu di Indonesia hanyalah diperuntukkan bagi orang Jawa, maka sesungguhnya wajah NKRI tercoreng dan kedaulatan rakyat dikhianati. Jika demikian, NKRI sesungguhnya sebuah kerajaan Jawa yang direkayasa dan dipaksakan di bawah satu slogan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kesembilan, rakyat Indonesia menjadi korban kapitalisme global karena melalui MoU (nota kesepakatan) Negara Indonesia telah menjual tanah dan kekayaan alamnya kepada negara kapitalis. Negara Indonesia hanya sibuk mengurus bingkai NKRI, sementara isi bingkainya tidak diurus, bahkan isi bingkainya dijual kepada para Investor asing (kapitalisme) dengan tujuan menghancurkan tanah dan menguras kekayaan yang terkandung dalam bingkai NKRI, dengan demikian kelangsungan hidup masyarakat setempat terancam, yang dalam kurung waktu tertentu akan berakibat pada pemusnahan etnis.
Kesepuluh, meningkatnya kejahatan Negara terhadap masyarakat pribumi. Kejahatan Negara itu dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yakni secara nyata dan juga terselubung. Kebanyakan kejahatan Negara dikemas rapi dalam pelbagai kebijakan, ini yang disebut kejahatan Negara terselubung. Dengan demikian, Negara tak mampu melindungi masyarakat, justru kaki tangan Negara melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil.
Kesebelas, Negara menciptakan ketidak-adilan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Kebijakan pembangunan Pemerintah Indonesia tidak memihak kepada masyarakat pribumi, misalnya di Tanah Papua; pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan bias pendatang; masyarakat pribumi Papua belum tersentuh dengan pelbagai kebijakan pembangunan yang digemborkan sejak OTSUS jilid I melalui UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Otonomi bagi Propinsi Iran Jaya sampai OTSUS jilid II melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Dan seterusnya.

Inilah beberapa faktor yang menurut saya terpicuhnya kebangkitan gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI. Negara Indonesia menghadapi pelbagai gerakan pembebasan dengan pelbagai manufer yang bertujuan untuk menjaga keutuhan NKRI. Atas nama negara, rakyat sipil yang tidak berdosa dibantai; menerapkan pelbagai kebijakan untuk membasmi masyarakat pribumi, sambil melahirkan pelbagi slogan untuk membangkitkan nasionalisme keindonesiaan.
Untuk menghidupkan semangat nasionalisme, para apparatus pejabat dan TNI serta POLRI melahirkan sebuah slogan: “Merdeka.....merdeka..... sekali merdeka tetap merdeka”. Slogan ini diindoktrinisasikan sedemikian rupa melalui pelbagai kesempatan, terlebih pada menjelang hari HUT kemerdekaan. Slogan ini diajarkan agar diucapkan oleh setiap warga Negara Indonesia. Ironisnya slogan ini hanyalah menjadi isapan jempol belaka karena semangat nasionalisme sendiri bisa timbul karena telah dibesarkan, dididik, bahkan telah diajar oleh Negara Indonesia mulai dari bangku Taman Kanak-Kanak (TK), namun seiring bertambahnya usia (dewasa), bertambah pula wawasan dan muncullah suatu kesadaran bahwa sebenarnya nasionalisme yang diajarkan melalui pendidikan dan pengajaran adalah sebuah nasionalisme kejawaan yang diindoktrinisasi menjadi nasionalisme keindonesiaan yang direkayasa melalui suatu proses pemanipulasian sejarah perjuangan masing-masing masyarakat pribumi yang ada di antara Sabang sampai Merauke.
Mungkin degungan semangat nasionalisme sangat pantas muncul pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, namun sesungguhnya nasionalisme keindonesiaan itu sudah, sedang dan akan luntur seiiring waktu berlalu. Slogan “NKRI harga mati” hanyalah slogan belaka. Buktinya Timor Leste pada tahun 1999 melepaskan diri dari NKRI. Dengan berpisahnya Timor Leste menandakan bahwa telah menodai Pancasila sesuai dengan sila ketiga yang mengatakan Persatuan Indonesia. Hal ini memang terjadi terdorong oleh beberapa faktor penyebab di atas.
Dengan pisahnya Timor Leste berarti Indonesia tidak bersatu, bahkan tidak akan utuh lagi. Negara Indonesia akan terpecah-pecah. Ini bukan rekayasa, ini bukan mimpi, tetapi pasti akan terjadi. Kita belajar dari pengalaman Unisoviet; ia negara yang super power, namun ternyata hancur juga.
Tentang kehancuran NKRI dipridiksikan oleh Djuyoto Suntani dalam bukunya yang berjudul: Tahun 2015 Indonesia “Pecah”. Dalam kesimpulan buku ini, ia mengakhiri dengan sebuah kalimat: “Sampai jumpa pada buku: “17 Negara Baru di Nusantara”.
Dengan demikian sampailah kita pada satu kesimpulan: “NKRI Bukan Segalanya” karena pada hakekatnya penentuan nasib sendiri tak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; yang juga dijamin oleh Pembukaan UUD 1945 alinea pertama; dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; dan Kovenan Internasional tentang Masyarakat Pribumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar