Senin, 21 Desember 2009

Otsus Gagal di Papua


Enam tahun perjuangan Jakarta menerapkan UU. No. 21/2001 nyatanya tak mampu merubah nasib Bangsa Papua Barat kearah yang lebih baik. Keadilan politik ekonomi dan sosial budaya jaminan bagi kedaulatan Bangsa Papua Barat. Peradaban Otsus dalam 25 tahun 19 tahun kedepan terus dijalankan, ketidakadilan yang terus menerus akan terjadi. Kado-kado politik yang ter-cover dalam otsus; politik devide et impera, ekspansi trans nasional dan multi coorporate ditengah ancaman pemanasan bumi global warming", genosida dan penerapan budaya eropa sentrisme menuju sektarian masyarakat.

Perjuangan Bangsa Indonesia dalam meletakkan statuta kenegaraannya sangat bergigi. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Tetapi ekspansi TRIKORA 1963, Ekspansi Freeport tahun 19967 sebelum Referendum digelar di Papua tahun 1969 patut di pertanyakan. Otonomi Khusus yang tanpa disadari adalah bagian dari kepentingan terselubung kaum neoliberal yang dijalankan oleh agen-Nya di Indonesia dan Papua Barat (jakarta-jayapura-manokwari yang sudah nyata mendesain ketidakadilan di Papua. Negara-negara ketiga yang sedang berkembang (Indonesia) tak luput dari kamar dangangnya globalisasi, dimana kedaulatan rakyat terus saja jauh dari kenyataan.

Geografis wilayah Papua Barat yang tiga kali lipat dari pulau Jawa membutuhkan penanganan khusus dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Harapan akan kemajuan yang digapai, kedaulatan dan keadilan rakyat Papua mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat dunia, namun sayangnya simpati yang berdatangan salah urus. Desain Otsus dalam implementasinya merepresif orang Papua baik dari segi adat dan budaya terjadi lonjakan yang jauh, kemerdekaan politik dan keutuhan rakyat Papua Barat berada dalam ancaman nyata.

Dari penerapan otsus sampai sekarang sangat jelas kegagalannya.
Pertama, Desain Otsus merupakan paket kepentingan multidimensional demi menjawab laju globalisasi.

Kedua, Otsus merupakan Kebijakan reaksioner kaum berkepentingan di Papua dengan semboyan mereda aspirasi Papua Merdeka, maka isu separatisme sering menjadi alasan pembenar selain demi menjalankan otsus juga sebagai harga tawar menawar elite dimana perseteruan yang paling dominan sering dilancarkan oleh militer usai terdegradasi dari tanah rencong-Aceh pasca MOU RI-GAM.

Ketiga, Penerapan Otsus tak jauh dari harapan eropasentrisme, dimana kelompok tradisional dianggap tabu bagi kebutuhan pasar modern. Sudah pasti, rakyat Papua menjadi anak tiri di negeri sendiri akibat lonjakan budaya dan bukan SDM sebagai alasan pembenar orang Papua tidak maju.

Orang Papua terasing di negeri sendiri, sama halnya masyarakat jawa yang di surabaya mengungsi dari lumpur lapindo. Otsus Papua didesain Bisa di bayangkan semakin ganasnya otonomi khusus di Papua Barat bagaikan lumpur lapindo brantas. Alasannya adalah Otsus merupakan senjata pembunuh tuntutan merdeka, sekejam freeport berhegemoni sampai sekarang. Dalam pandangan kaum reaksioner sejati selalu menganggap orang Papua belum punya SDM (Sumber Daya Manusia) untuk bisa maju. Diskursus tersebut hanyalah jawaban bagi kepentingan pasar pemilik modal. Mengapa?, Sumber daya manusia saat ini berada dalam rentang kendali pemodal, maka intelektual tak bisa berpihak kepada rakyatnya ditengah dominasi kaum pemodal di segala bidang. Peradaban tradisional rakyat Papua Barat yang kian kental; sistem pasar adalah hal baru, tetapi pertukaran barang dan barang merupakan hal lasim di Papua. Globalisasi selalu menentukan celah pragmatisme untuk mendaptkan hasil yang memuaskan,
sayangnya Jakarta yang kian ribut nasionalisme malah dijadikan Mandor pasar pemodal.

Penanganan masalah di Papua Barat selama ini tidak sesuai dengan realitas sosial maupun politik. Namun penangan masalah di Papua selama ini terus saja diarahkan untuk tidak lain menjawab kepentingan Bangsa-Bangsa penjajah, Papua terus diperuntukan bagi kejayaan eksploitasi, kejayaan kolonialisme kaum birokrat, kebebasan dan kemerdekaan sebagai ruang tuntutan Bangsa Papua dipandang berbahaya tetapi kerinduan untuk lebih adil, berdaulat dan MERDEKA merupakan roh rakyat di Papua juga rakyat jawa yang terkena lumpur lapindo di Sidoarjo bahkan rakyat palestina pun menuntut hal yang sama kemerdekaan, kedaulatan, kebebasan secara universal yang anti sektarianisme...

Sudah saatnya pintu internasionalisasi masalah Papua dibuka. Dukungan internasional sebagai pertanggungjawaban atas cacatnya proses politik Papua yang melibatkan negara-negara luar seperti Belanda, Amerika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inilah jawaban atas kegagalan Otsus saat ini.(Pigundoni)

Tumbuhnya Paham Nasionalis Papua



Tumbuhnya paham "Nasionalisme Papua" di Tanah Papua tempoe doeloe mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan "Cargo-Cultis".

Mungkin yang paling tebuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "Koreri" dikepulauan Biak, gerakan "Were atau Wege" yang terjadi di Enarotali atau gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan Koreri di Biak mencapai titik Kulminasinya pada tahun 1942 dengan suatu Proklamasi dan pengibaran Bendera.

Dengan masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944 Resident J. P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "Vader der Papoea's" (Bapak Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang melahirkan Elite Politik Terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea.

Resident J. P. van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang keluar Irian Jaya sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian Jaya. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para pemuda terdidik tersebut diatas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia yang bernama "Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)". Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya adalah bahwa seluruh peserta tersebut diatas harus masuk tahanan polisi Belanda untuk lebih dari 3 Bulan, pemerintah Belanda menghadapi tantangan yang berat dari Organisasi PKII sebab mereka mengklaim seluruh Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) termasuk Wilayah Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans Kaisepo dan Johan Ariks bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi Orang yang sangat anti Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Indonesia dan bukannya membantu Irian Jaya untuk kemerdekaan Irian Jaya itu sendiri. Pada tanggal 16-24 Juli 1946 dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh Nasionalis Papua Frans Kaisepo yang memperkenalkan nama "IRIAN" bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam Indonesia Timur. Tuntutan itu disampaikan dalam Konferensi yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook, namun permintaan tersebut ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.

Selain gerakan politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Pamongpraja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis dan Buton yang ada di Niew Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatan itu kemudian diketahui oleh pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensi maka aktivitasnya dilarang, ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident van Eechoud. Kalau PKII itu dibina oleh Dr. Sam Ratulangi yang menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui, maka pada tahun 1954 dr. Gerungan mendirikan suatu gerakan politik di Hollandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan atau organisasi politik itu dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey.Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Untuk mewujudkan dan menumbuhkan Nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita, van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para pemimpinnya serta membuang mereka ke Makassar, Jawa dan Sumatera yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan di pimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, Eli Ujo. Untuk itu, Marten Indey, Kawab,Krey dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa saat, tapi semangat perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah yaitu semangat pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia.
Eliezer Jan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1963-1964) yang kemudian pada tahun 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa Bonay semula adalah tokoh yang pro-Indonesia, pada awal integrasi ia dijadikan Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun pada tahun 1964 ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan digantikan oleh Frans Kaisepo.

Untuk menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea. Gerakan ini mempunyai tokoh-tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor dimana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda dan Nasionalisme Papua.
Pada tahun 1960 dibentuklah suatu "Uni Perdagangan" yang pertama di Nieuw Guinea yang bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan pemerintah Belanda dan pekerja-pekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang singkat keanggotaan orang Papua menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada gilirannya bersama Gerakan Persatuan Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin dari Partai Nasional.

Pada tiga bulan menjelang akhir tahun 1960, pemerintah Beladan membentuk beberapa partai dan oraganisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum, yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara bertahap. Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut diatas adalah:

  1. Partai Nasional (Parna) diketuai Hermanus Wajoi
  2. Democratische Volks Partij (DVP) diketuai A. Runtuboy
  3. Kena U Embay (KUE) diketuai Essau Itaar
  4. Nasional Partai Papua (NAPPA) Anggota NMC tanggahma
  5. Partai Papua Merdeka (PPM) diketuai Moses Rumainum
  6. Commite Nasional Papua (CNP) diketuai Williem Inury
  7. Front Nasional Papua (PNP) diketuai Lodwijk Ayamiseba
  8. Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) diketuai Johan Ariks
  9. Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) diketuai L. Mandatjan
  10. Sama-Sama Manusia (SSM)
  11. Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (PERKISRA) diketuai M. N. Majalibit
  12. Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) diketuai AJF Marey

Partai Nasional (PARNA) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis Papua yang menghendaki suatu pemerintahan sendiri yang secara tegas menolak penggabungan dengan Indonesia. Propaganda Anti Indonesia terus ditingkatkan, dimana pada saat itu West Nieuw Guinea akan diberikan pemerintahan sendiri (Kemerdekaan) oleh Belanda pada tahun 1970 dimana bentuk dan isi dari pemerintahan itu kemudian akan ditentukan. Janji ini yang menyebabkan sebagian pemimpin Papua tidak mengungsi ke negeri Belanda pada saat Belanda harus meninggalkan Irian Jaya, tetapi mereka memutuskan untuk tinggal dan ingin memilih dan menerima kenyataan janji itu setelah Irian Jaya digabungkan dengan Indonesia.

Beberapa pemimpin PARNA yang terkenal adalah Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Womsiwor, Frits Kirihio kemudian dikirim untuk belajar ke Belanda dan berubah pikirannya menjadi pro-Indonesia. Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia dan ia diangkat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia. Silas Papare menjadi anggota MPRS dan mereka membentuk suatu Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Silas Papare sangat aktif dalam kegiatan front ini dan diikutkan pada Delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mebicarakan masalah Irian Jaya pada tahun 1962. Pada tahun 1958 hingga tahun 1961 sejumlah pemuda Papua melintas batas ke Indonesia, yang oleh pemerintah Indonesia diterima dan dijadikan atau dilatih menjadi Tentara dalam rangka persiapan perebutan kembali Irian Jaya dari Pemerintah Belanda. Beberapa pemuda yang terkenal pada waktu itu antara lain: A. J. Dimara, Benny Torey, Marinus Imburi (almarhum), Sadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, Metusalim Vimbay. Adapun yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Irian Jaya sesudah perang dunia ke-II dan dengan tekanan Internasional sehubungan dengan adanya sengketa dengan Indonesia, ialah sesuai dengan kebijakan sebagai berikut: Mempercepat pembangunan infra struktur teknis ekonomi, dengan anjuran pembentukan pasar bagi pertanian rakyat dan sama sekali menghidari campur tangan dari pencangkokan ekonomi Hindia Belanda; Secara kuat menganjurkan dasar pengajaran yang dilakukan secara luas atas wilayah dan bersamaan dengan itu dibentuk suatu Elite Papua (Irian Jaya) yang Modern; Meminjamkan dan merangsang supaya se-iya sekata dalam mempercepat pengembangan masyarakat sehingga dapat dibentuk Dewan Daerah dan Dewan Papua; Penolakan kembali situasi kekuasaan dengan menggantikan para pejabat orang Indonesia di Irian Jaya mulai dari atas ke bawah dengan fungsionarisen Belanda yang berkecimpung dalam struktur pemerintah daerah di Irian Jaya yang kemudian dialihkan kepada orang Irian Jaya, untuk itu dipekerjakan tenaga muda Belanda yang antusias serta perwira-perwira Belanda yang aktif dalam tugas; Maka dipercepatlah Papuanisasi dari kader rendah hingga menengah. Terutama di Hollandia dan Manokwari para kader Nasionalis Papua dibentuk menjadi Elite Politik dengan kemampuan berdiskusi dengan baik, hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia di Papua New Guinea (East New Guinea) yang terkenal dengan Bully Beef Club yang melahirkan para pemimpin partai tangguh yang nasionalis radikal di Perguruan Tinggi Administrasi Port Moresby.

Pemilihan umum untuk Nieuw Guinea Raad diselenggarakan dari tanggal 18-25 Februari 1961. Aktivitas Partai Politik dalam rangka pemilihan tersebut menonjol dan penting terutama di Hollandia dan Manokwari sebab di kedua tempat tersebut banyak berdomisili orang-orang Belanda, Indo-Belanda, Indonesia (Ambon, Menado, Jawa, Makssar, Bugis Buton dll) serta kader-kader Papua yang terdidik (kader rendah dan menengah). Pada tanggal 15 April 1961 Nieuw Guinea Raad diresmikan atau disahkan untuk mulai bekerja. Kewenangan yang penting dari Nieuw Guinea Raad adalah: Hak Petisi atau mengajukan permohonan, Hak Interpelasi atau meminta keterangan, menyampaikan nasihat tentang Undang-Undang dan peraturan umum pemerintah yang mengikat bagi Irian Jaya, tugas bantuan berdasarkan Hak Amandemen/Usul perubahan terhadap ketentuan Ordonansi-ordonansi, tugas bantuan terhadap pelaksanaan dari anggaran yang berhubungan dengan tinjauan dan pengamatan pada umumnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Nieuw Guinea Raad memiliki kekuasaan Legislatif bersama pemerintah dan melaksanakan beberapa pengawasan terhadap anggaran belanja. Dalam perencanaan pembentukan Nieuw Guinea Raad, Belanda menyadari bahwa lembaga itu pada awalnya mempunyai sarana latihan demokrasi. Pada tahun 1960 telah dibentuk sebuah batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers korps) dan berkedudukan di Arfai Manokwari. Setelah pembentukan Nieuw Guinea Raad maka pada tahun 1952 dilanjutkan dengan pembentukan 10 dewan daerah (Streekraad). Implementasi dari "Demokrasi Kolonial" ini bertujuan untuk menindas perasaan-perasaan pro-Indonesia.

Masalah Nieuw Guinea terus menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda, dimana Belanda terus melaksanakan politik Dekolonisasi dan ingin menjadikan Nieuw Guinea sama kedudukannya dengan Suriname dan Antillend. Sengketa yang berkepanjangan itu mendorong menteri luar negeri Belanda Dr. Joseph Luns pada tahun 1961 mengajukan suatu rencana pemecahan masalah Nieuw Guinea pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk sidang umum tanggal 28 November 1961. Rencana Luns terdiri dari empat (4) Pasal sebagai berikut. Pertama, harus ada jaminan tentang adanya undang-undang tentang penentuan nasib sendiri bagi orang Papua/Irian Jaya. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan Internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut akan diberikan juga kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat ketaraf yang lebih tinggi. Secara garis besar rencana ini mengandung pengertian bahwa perlu ada jaminan bagi orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri dan dunia Internasional menjamin terbentuknya suatu pemerintahan yang berdaulat, dan untuk itu Belanda memikul beban pembangunan/pengembangan masyarakat Papua ketaraf yang lebih tinggi/baik. Sebelum rencana Dr. Luns tersebut dibuat, pada bulan Oktober 1958 dalam suatu konferensi antara para pejabat Belanda dan Australia, dicapailah suatu kesepakatan adanya kerja sama untuk pembentukan "Persatuan Melanesia" (Melanesische Unie), yang mencakup wilayah-wilayah Nieuw Guinea, Bismarck, dan kepulauan Solomon sebagai suatu federasi. Tetapi tidak ada tindak lanjut dari usaha persatuan itu. Satu tahun kemudian diadakan lagi suatu konferensi antara Belanda dan Australia di Canberra tanggal 21-22 Oktober 1959 dan dilanjutkan di Hollandia dalam bulan Maret 1960, dengan agenda dasar mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mempersatukan Nieuw Guinea (wilayah Belanda dan Australia) menjadi satu negara dikemudian hari dan pemerintah Australia menyetujuinya. Usaha inipun gagal dilakukan mengingat Indonesia terus menuntut pengambilan Nieuw Guinea sehingga mendesak Dr. Joseph Luns untuk membuat rencana tersebut diatas.

Di Nieuw Guinea, sebagai jawaban atas rencana Luns yang akan didiskusikan di PBB, maka 5 (lima) dari anggota Nieuw Guinea Raad yang dipimpin oleh Mr. de Rijke merancang suatu manifesto dan membentuk suatu Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang. Komite ini menyelenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh 70 orang Papua terdidik. Dalam pertemuan ini di Hollandia menghasilkan: Bendera Nasional Papua, Lagu Kebangsaan "Hai Tanahku Papua", nama bangsa "Papua" dan nama negara "West Papua" atau "Papua Barat ". Pekerjaan Komite Nasional itu hasilnya kemudian diajukan kepada Nieuw Guinea Raad dan segera mendapatkan persetujuannya. Diakui pula disini bahwa Mr. de Rijke mempunyai peranan yang besar dalam melahirkan hasil dari Komite Nasional tersebut diatas. Hasil ini menyebabkan pemerintah Belanda menunjukan simpati penuh serta dukungan atau bantuan mereka pada aliran Nasional yang tumbuh di Nieuw Guinea atau Irian Jaya.

Pada tanggal 1 November 1961, bendera Nasional Papua dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan bendera Belanda dan lagu kebangsaan Papua dinyanyikan pada saat itu. Kegiatan itu mendapatkan publisitas dengan cepat dan meluas baik di Nieuw Guinea, maupun ke penjuru dunia.

Dilain pihak untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah Belanda diatas, maka Presiden Soekarno mencetuskan TRI KOMANDO RAKYAT (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta yang isinya sebagai berikut:

  1. Gagalkan pembentukan "Negara Papua" buatan Belanda Kolonial.
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
TRIKORA merupakan momentum politik yang penting, sebab dengan TRIKORA maka pemerintah Belanda dipaksa untuk menandatangani perjanjian di PBB yang dikenal dengan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Nieuw Guinea.(Pigundoni)

Rekrut Anggota KPUD Kabupaten Intan Jaya, Jangan Bangun Opini di Luar Aturan


Belakangan ini beredar informasi di kalangan masyarakat di kabupaten baru baru Intan Jaya, dalam waktu dekat akan ada perekrutan anggota KPUD di Kabupaten Intan Jaya. Namun informasi namun informasinya simpang siur (tidak resmi) informasi tentang perekrutan anggota KPUD di kabupaten baru, tidak benar. Karena untuk merekrut anggota KPUD tidak sembarang dan tidaklah mudah. Soal rekrut ini ada mekanisme dan aturan yang jelas dan berlaku di negara ini. Sehingga informasi tentang rekrutmen itu dinilai hanya memperkeruh situasi hanya kepentingan pribadi atau golongan tertentu.


“Kita perlu ketahui bersama bahwa mekanisme untuk rekrut anggota KPUD, setelah dibentuk anggota legislative, siapa penjabat bupati yang berwenang akan menyurat ke Mendagri dan KPU pusat dengan isi suratnya berupa permohonan, jika dijawab dan keluarkan rekomendasi maka bisa dilakukan perekrutan anggota. Namun harus ditempuh beberapa mekanisme dan aturan, setelah itu harus jalani tahapan-tahapan.


Menurutnya, informasi tentang rekrut anggota KPUD ini informasi yang keliru. Sebab kabupaten baru yang lain seperti Kabupaten Dogiyai saja belum ada anggota KPUDnya apa lagi Kabupaten Intan Jaya Diharapkan kepada masyarakat di kabupaten Intan Jaya agar tidak terpancing isu yang tidak resmi.


Sebab soal rekrut angota KPUD ada waktunya dan ada mekanisme serta aturan yang bisa mengatur soal rekrut anggota KPUD tersebut.(Pigundoni)

Kamis, 17 Desember 2009

Banyak Aparat TNI POLRI di freeport


Jumlah aparat keamanan yang di tempatkan di areal pertambangan milik PT Freeport Indonesia di daerah Tembaga Pura kabupaten Mimika, Papua, sudah cukup dan tidak perlu ditambah lagi," kata angotaa Komisi I DPR-RI, Yorrys Raweyai.

"Pengamanan di areal PT. Freeport sudah cukup banyak bahkan terkesan berlebihan, jadi jangan menambah pasukan lagi," Kata Yorrys di Jayapura, Kamis.

Yorry menjelaskan, saat ini tim komisi I DPR-RI melakukan kunjungan kerja di Mimika, Selasa , dirinya sempat heran melihat jumlah aparat keamanan yang cukup banyak.

"Ini menimbulkan pertanyaan ada apa yang terjadi sehingga banyak tentara dan polisi dimana-mana," ujarnya.

Ketika dimintai komentarnya terkait kasus penembakan di areal PT Freeport yang sering terjadi pada beberapa bulan belakangan, Yorrys Raweyai menjawab aparat TNI/Polri harus segera mengungkap pelaku dan aktor intelektualnya.

"Harus ada transparansi kepada publik dan dunia, sebab masalah Papua dewasa ini terus disorot dunia, jadi mari kita berbuat sebaik mungkin demi keamanan bersama," katanya.

Tim dari komisi I DPR-RI sejak Rabu (9/12) melakukan kunjungaan kerja di Jayapura, dipimpin ketua tim Kemal A.Stamboel dan Wakil Ketua, Agus Gumiwang Kartasasmita.

Anggota yang tergabung dalam rombongan antara lain dari Fraksi Partai Demokrat adalah Guntur Sasono, Roy Suryo Notodiprojo, Ramadhan Pohan, Max Sopacua.

Sedangkan dari fraksi Partai Golkar adalah Yorrys Raweyai, Paskalis Kossay. Adapun yang lainnya adalah Helmy Fauzi (Fraksi PDIP), Lily Chodidjah Wahid (Fraksi PKB), Rachel Maryam Sayidina (Fraksi Partai Gerindra) dan Azwar Abubakar (Fraksi PAN).

Selain itu, perwakilan dari Departemen Pertahanan juga turut hadir yakni Brigjen Subekti serta dari Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). (pigundoni)


Freeport Indonesia Biang Msalah di Papua


Kami Bangsa Papua Barat mengecam penembakan terhadap Tokoh Papua Kelly Kwalik bersama tujuh warga Papua lainnya di Timika Papua. Insiden penggrebekan yang menewaskan delapan warga Papua ditengah upaya berbagai pihak untuk menuntut pengusutan kasus terror di areal PT. Freeport yang berlangsung enam bulan tanpa solusi martabat yang dihasilkan.

Kami Bangsa Papua juga memastikan bahwa Tuan Kelly Kwalik benar-benar tewas tertembak dalam penggrebekan tersebut. Insiden tersebut terjadi pada pukul tiga dinihari 16 Desember 2009 di Gorong-gorong dua Kabupaten Mimika Papua. Dari delapan warga yang digrebek, dua orang berhasil lolos, enam diantaranya tewas tertembak. Korban adalah Kelly Kwalik, Pereni Kwalik, Noni Dikin dan Agusta Wandik. Densus 88 Polri dalam penggrebekan tersebut menggunakan dua buah mobil Polisi dan tujuh kendaraan milik PT. Freeport Indonesia.

Tragedi kemanusiaan sejak kehadiran PT. Freeport Indonesia di Mimika punya sumbangsih bagi praktik berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi. Pemerintah Indonesia seakan tak berbuat apa-apa dalam menangani masalah di Freeport dan Papua seluruhnya. Kasus operasi militer di areal PT. FI bukan hal baru, bahwa semuanya dilakukan demi pengamanan asset Negara dengan menguburkan prinsip kemanusiaan dan keadilan bagi warga Papua. Itulah realitas yang terjadi semenjak kasus-kasus kemanusian di areal PT. Freeport. Kasus penembakan di tahun 2001 silam pun berakhir dengan penjara tujuh warga Papua dan menewaskan Anthonius Wamang, sampai peristiwa sekarang sama saja, bahwa investigasi kasus terror di PT Freeport dan tuntutan warga Papua menutup PT. Freeport dijawab oleh Negara Indonesia dengan pembunuhan nyawa warga Papua secarah sadis,padahal mereka adalah manusia pribumi yang mempunyai hak diatas Tanahnya.

PT.Freeport ADALAH BIANG MASALAH dal;am kehidupan BANGSA PAPUA harus bertanggungjawab atas insiden ini.Kami seluruh Bangsa Papua umpun Malanesia menduga, dukungan dana 8,1 juta USD kepada MILITER INDONESIA adalah bukti dukungan dana bagi OPERASIH ANTIH KEMANUSIAAN yang berakhir dengan menewaskan enam warga Papua yang terjadi di Kabupaten Mimika,Timika-Papua. Pemerintah Indonesia segera membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan ( PERPU ) untuk menutup PT. Freeport di Papua guna perbaikan kontrak dan pemulihan entitas demokrasi orang Papua. PERPU harus memihak pada restorasi ekologi dan kedaulatan ekonomi nasional. Desakan penerbitan perpu juga harus di keluarkan Oleh Negara untuk mencegah timbulanya protes warga sipil semenjak tewasnya warga Papua aklibat operasi militer secarah besar -besaran beberapa tahun terakhir sampai dengan tewasnya Kelly kwalik dan bebrapa warga sipil lainya.(pigundoni)

Selasa, 15 Desember 2009

Nasib Bangsa Papua SEMUA PIHAK


Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 telah berlalu lima hari yang lalu, dan hingga memasuki H+5, posisi SBY-Bud dari partai Demokrat berada di puncak atas meninggalkan jauh dua pesaing berat dari Partai lama, PDIP & Golkar, yakni Mega-Pro dan JK-Win.

Ketika Pemilu itu berlansung, saya adalah salah satu dari jutaan peserta Pemilu di Indonesia yang turut ikut ambil bagian dalam pencontrengan tersebut, dan sesuai dengan suara hati tanpa di pengaruhi oleh pihak lain dan tanpa ada kata tanya dari saya kepada orang lain, saya pun langsung mencontreng pasangan SBY-Bud atau pasangan kandidat nomor urut dua dari Demokrat-PKB tersebut (secara transparan dapat saya sampaikan demikian).

Henta mengapa sampai saya mencontreng pasangan nomor urut dua, tentunya jawaban singkat yang dapat saya sampaikan adalah merupakan timbul sendiri dari dalam hati dan pikiran saya, tanpa adanya paksaan dari pihak luar, baik istri, ipar, bapa, mama, saudara, teman maupun siapa saja yang ada saat itu di sekitar saya, ketika Pemilu Presiden-Wapres periode 2009-2014 berlangsung secara serentak di seluruh Indonesia pada, Rabu, 08 Juli 2009 lalu.

Tentunya berdasarkan Defakto dilapangan, atau hasil pantauan saya melalui Media Massa, baik Elektronik (TV, Radio) maupun media cetak (Koran) dalam lima hari terakhir ini, rupanya SBY-Bud yang cukup melambung tinggi dari dua pasangan kandidat lainnya.

Usai saya mengikuti pencontrengan itu, dalam hati kecil hingga pikiran saya timbul satu, dua, tiga hingga empat kata demikian yang berbunyi : “Bagaimanakah Nasib Tanah dan Orang Papua kedepan, melalui kepemimpinan Putra-Putri terbaik di Legislatif (Wakil Rakyat), Bupati/Wabup, Walikota/Wawali, Gubernur/Wagub hingga Presiden/Wapres selama periode 2009-2014 itu. Akankah menjadi baik secara perlahan-lahan atau sebaliknya secara perlahan-lahan Negeri ini semakin tambah parah dengan berbagai macam kesenjangan-kesenjangan…??”.

Beberapa kata singkat dalam petikan tersebut sebelum tulisan ini, hinggap dalam otak saya sehingga tulisan ini di buat, dengan satu tujuan sederhana yakni untuk memberikan atau membuka inspirasi kepada public khususnya di Papua bahkan umumnya di seluruh Indonesia bahwa berbagai kesenjangan-kesenjangan yang terjadi saat ini akankah kedepan dapat diatasi oleh pemimpin baru saat ini, ataukah kedepan Tanah dan Orang Papua tambah sulit.

Dengan waktu dan ruang yang terbatas saya menyajikan tulisan ini, yang tentunya terbatas pula dengan hadirnya kata-kata dalam tulisan ini, karena apa boleh di kata, konsentrasi saya sangat terbatas karena begitu banyak kesibukan yang dapat saya lakukan disaat-saat masa berlibur ini.

Yang melatarbelakangi saya untuk menulis tulisan ini, karena hanya kepingin saja untuk memberikan sedikit masukan bahkan kritikan kepada pihak-pihak terkait yang berkompoten, maka mau tidak mau, suka ato tidak suka, senang ato tidak senang, saya harus mengambil resiko dengan waktu tersisa ini hanya untuk menulis tulisan ini, kiranya dapat bermanfaat dan tidak merugikan semua pihak yang berkompoten di Negeri Papua ini pada khususnya dan umumnya di persada Indonesia.
Pemekaran Daerah
Hingga bulan Juli tahun 2009 ini, ternyata masih juga ada daerah-daerah baru yang di mekarkan menjadi Kabupaten, dan Kabupaten-Kabupaten baru itu telah juga ada Penjabat Bupati sementara sebagaimana yang di ambil sumpah janji oleh Mendagri di Jakarta belum lama ini. Kabupaten baru itu antara lain Deiya, Intan Jaya, Grime Nawa dan beberapa Kabupaten pemekaran lainnya.

Dengan di berikannya daerah baru oleh Pemerintah Pusat kepada orang Papua bahkan hadirnya Putra-Putri Papua, apakah dapat sanggup mengatasi berbagai kesenjangan-kesenjangan di Negeri ini, ataukah akan semakin tambah sulit untuk di atasinya. Misalnya saja dari sisi Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi Kerakyatan dan Infrastruktur di Papua lebih khususnya di daerah-daerah pedalaman (Pegunungan Tengah Papua-red) masih terlihat di mata dan melalui penyampaian beberapa orang, yang sempat terdengar pula di telinga saya, seperti Tanah & Manusia Papua di bilang masing “Ketertinggalan, Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, Keterpurukan, Kemalasan, dan lain-lain sebagainya”.

Apa musti Alam di Negeri ini harus angkat bicara, apa musti Masyarakat Kecil (Akar Rumput) yang menyatakan perasaannya kepada Wakil Rakyat atau Dunia luas, ataukah orang Papua akan selalu dan selalu betah dan hanya menerima saja berbagai omelan dari pihak-pihak luar yang berkompoten tersebut hingga sampai kedatangan “Sang Juru Selamat”, ataukah Putra dan Putri Papua yang kini mendapatkan posisi-posisi terpenting di Pemerintahaan yang akan memperjuangkan hal ini, atau bahkan sebaliknya mendiamkan hal ini semacam angin berlalu saja, ataukah dengan cara apa, supaya penyampaian hal negative diatas bisa diatasi semuanya….?? Tentunya akan timbul banyak argumen-argumen dari semua pihak-pihak yang berkompoten di negeri ini.

Kalau menurut argumen saya, cukup dengan mengatakan perlu adanya “Rasa Kepedulian” saja dari semua pihak. Jika semua pihak seperti: Intelektual, Pejabat-Pejabat Pemerintahaan (Tingkat Kampung/Desa hingga Tingkat Pusat), Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, LSM, Pihak Swasta (BUMD, BUMN, INVESTOR) dapat menciptakan kepedulian yang tinggi dari dalam hati, dan tidak dengan rasa keberpihakan serta mencari keuntungan semata di Negeri yang terbilang menyimpan berbagai macam kekayaan Alam ini. Saya belum tahu pasti, apa saja yang menjadi tanggapan dan jawaban dari semua pihak yang sempat membaca tulisan saya ini, tetapi yang pastinya itulah jawaban singkat dari saya yang bisa saya paparkan di atas itu, sesuai dengan argument atau pendapat saya sendiri.

Harapan saya, Putra-Putri Papua terbaik yang telah di pilih oleh rakyat Papua khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, baik yang akan menduduki kursi empuk Legislatif, kursi empuk Presiden dan Wapres, kursi empuk Bupati/Wabup, Walikota/Wawalikot, Gubernur/Wagub serta para Intelek-Intelek Negeri, harus benar-benar memperjuangkan apa yang menjadi pergumulan Tanah dan Orang Papua pada khususnya dan Orang Indonesia umumnya dalam mengatasi semua kesenjangan-kesenjangan yang sudah, sedang dan akan terus terjadi di Negeri persada ini, dan lebih khususnya di Tanah Papua yang Terberkati dan Damai ini.

Akhirnya, tak lupa saya sampaikan selamat atas suksesnya Putra dan Putri terbaik dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-Wapres, keduanya untuk periode 2009-2014, semoga tetap memperjuangkan apa yang menjadi keluhan dari Rakyat Papua khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya, dari berbagai-bagai kesenjangan-kesenjangan…..Semoga.(rosa)

Orang Papua Harus di Perdayakan

Istilah orang papua harus menjadi tuan diatas negerinya sendiri, bukan berarti hanya berada pada masalah kepemimpinan di dalam pemerintahaan saja, melainkan sekecil apapun bidangnya tentunya wajib dikedepankan orang papua untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Seperti sebagaimana yang di amanatkan dalam undang-undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001.Jika di cermati satu per satu, bidang-bidang itu meliputi Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur dan Ekonomi Kerakyatan. Pada tulisan ini, bagian yang dirasa perlu untuk dikaji serta di teliti secara baik oleh semua pihak yang berkompoten tanpa terkecuali seperti pemerintah adalah menyangkut bidang Ekonomi Kerakyatan.Salah satu masalah yang hingga kini masih menjadi bahan dasar yang perlu di perhatikan khususnya pada peningkatan ekonomi kerakyatan dapat dilihat secara nyata, hampir di semua daerah di dua provinsi paling tertimur ini baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, dimana masyarakat local khususnya mama-mama papua secara kaca mata penulis di lapangan, dimana disaat mereka (masyarakat pribumi-red) hendak menjual atau memasarkan hasil pangannya di pasar, sangat nampak sekali tidak mendapatkan tempat yang layak, malah hasil pangannya hanya bisa dijual di dasar tanah. Sedangkan, jika dilihat justru malah hampir sebagian besar masyarakat non local-lah, seperti trans Jawa-Manado dan Makasar menempati tempat jualan yang sangat strategis.Hal inilah yang patut dibilang menjadi tuan diatas tanahnya sendiri, sedangkan fakta dan keadaan di lapangan masih saja seperti begitu dari waktu ke waktu hingga detik ini. Jika perlu bukti, bisa saja di amati hampir di seluruh pasar di Tanah Papua baik kabupaten atau kota di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Salah satu tempat atau pasar sesuai pantauan penulis beberapa pekan lalu, yakni di Pasar Lama Bintuni Distrik Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat dan Pasar Baru Sentani, Distrik Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.Dua tempat pasar tersebut menjadi contoh dari keseluruhan pasar di Tanah Papua. Dimana, hampir sebagian besar masyarakat local menjual hasil pangannya di tempat-tempat yang secara kasar dibilang kurang strategis, misalnya saja berjualan di dasar tanah. Hal demikian, tentunya membuahkan pertanyaan besar bagi masyarakat papua lebih khusus mama-mama papua tersebut. Sampai kapan kegiatan aktivitas oleh masyarakat local di pasar dalam berdagang di tempat yang lebih nyaman, dan sampai kapan pula mama-mama tersebut bisa mendapatkan tempat yang layak di pasar....?Sedangkan kalau dilihat Otsus Papua sudah bergulir selama lebih kurang 7 tahun. Dari bergulirnya otsus hingga sekarang ini, masih saja terlihat orang papua tidak diberdayakan sesuai UU Otsus tersebut untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri, khususnya di bidang ekonomi kerakyatan. Banyak orang berargumen bahwa menjadi tuan diatas tanahnya sendiri hanya berlaku pada tingkat atas atau dengan kata lain di pemerintahaan saja. Tetapi tidak beranggapan secara positif bahwa dalam berdagang itu juga salah satu dari sekian banyak yang terkandung pada bagian dari bidang ekonomi kerakyatan, yang terasa sangat perlu diberdayakan.Seperti sebagaimana, menurut beberapa mama-mama asli suku Sougb yang berada di kawasan Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat, diantaranya Hana Iba dengan suara setengah kecewa membeberkan bahwa hasil pangan yang dikelolah oleh mereka dalam memasarkan di pasar, mengalami kesulitan. Kesulitan itu, rupanya tidak lain dan tidak bukan adalah tempat penjualannya di pasar. “Saya serta mama-mama lain selalu memilih diam, sebab ketika berkata tentunya tidak ada orang yang bisa mendengarkan suara kami, pada hal kami tahu bahwa ketika kami bersuara pasti anak-anak kami yang ada duduk di Wakil Rakyat (DPRD) bisa memperjuangkan suara kami.”ujar mama Hana.Dirinya sangat kesal, walau ada Wakil Rakyat serta juga ada Bantuan Dana Otsus yang di kucurkan oleh pemerintah yang tengah berjalan lebih kurang tujuh tahun, tetapi tidak membuahkan hasil yang baik, terutama bagi masyarakat local di bidang ekonomi kerakyatan.Ia mengatakan, coba anak (penulis-red) lihat sendiri sekarang kita berjualan harus duduk di lantai dasar pasar, sedangkan tempat-tempat yang strategis paling banyak di dapatkan oleh orang seberang (non local-red). Jika demikian, sudah tentunya Otsus bukan milik kitorang orang papua tetapi miliknya orang non papua. “Jika kalau otsus milik orang papua, kenapa kami bisa berjualan di lantai pasar, sebenarnya tempat-tempat yang sangat strategis itulah yang harus dimiliki oleh orang-orang papua, supaya menjadi tuan di atas tanahnya sendiri dapat tercapai.”sambungnya lagi dengan nada serius.Penuturan mama-mama di Bintuni Provinsi Papua Barat, juga sama halnya dengan apa yang diutarakan oleh beberapa mama-mama yang tengah berjualan di pasar baru Sentani di Provinsi Papua. Salah satu mama yang sempat di tanyai penulis, menuturkan dengan berjualan di lantai dasar pasar, adalah bagian tempat mereka yang nyaman dan abadi.Menurut mama tersebut, prioritas masyarakat local terutama mereka yang berjualan di pasar perlu di perhatikan secara serius oleh pihak penentu kebijakkan, dalam hal ini para pimpinan nomor satu di pemerintahaan.“Ini kami berbicara atas dasar UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001, jika kalau kami tidak diberdayakan, kenapa Otsus hingga masuki tahun ke tujuh masih terus bergulir. Sedangkan pemberdayaan masyarakat local saja belum begitu nampak dipermukaan,”tukasnya..!(rosa)

Ucapan Syukur atas Hadirnya Kabupaten Intan Jaya




Bertempat di lapangan bola kaki Desa Yokatapa Distrik Sugapa, Jumat (9/01/2009) beberapa waktu lalu dilangsungkannya kegiatan pesta bakar batu. Kegiatan itu di hadiri lebih kurang 1000-an masyarakat Moni, Nduga, Dani dan Suku nusantara. Sementara dari lima distrik hanya yang hadir dua kepala distrik yakni Kepala Distrik Sugapa, Bartolomius Mirip, S.pd dan Kepala Distrik Wandae, Markus Miagoni.

Ucapan syukur yang di rayakan masyarakat Moni dan pimpinan pemerintah distrik yakni sebagai tanda hadirnya Kabupaten Intan Jaya yang di sahkan oleh DPR RI pada tanggal 29 Oktober 2008 silam. Dimana, UU. NO. 54 untuk pemekaran Kabupaten Intan Jaya dan UU. NO. 55 untuk pemekaran Kabupaten Deiya.

Untuk diketahui kegiatan yang sama pula juga di lakukan oleh masyarakat moni, baik yang ada di Jawa-Bali, Manado, Jayapura, Timika bahkan Paniai.

Kali ini atas inisiatif dari masyarakat lima distrik maka di rayakannya kegiatan pengucapan syukur yang sesuai kebiasaan setempat yakni melalui pesta bakar batu di laksanakan kegiatan ini di ibu kota kabupaten, dengan jumlah masyarakat yang hadir lebih kurang 1000-an yang tinggal dan mendiami di 14 Desa Distrik Sugapa diantaranya, Bilogai, Puyagia, Yokatapa, Joparu, Mamba, Titigi, Eknemba, Ugimba, Bilondoga, Emondi, Mindau, Jalae, juga hadir pula masyarakat dari empat distrik lainnya yakni Distrik Hitadipa, Distrik Agisiga, Distrik Homeo, Distrik Wandae.

Kegiatan pesta bakar batu ini di pimpin oleh Kepala Distrik Sugapa, Bartolomius Mirip, S.Pd di awali dengan penyampaian kisah perjuangan hadirnya Kabupaten Intan Jaya ini.
Sebagai awal kata dalam penyampaian kisah perjuangan, Kepala Distrik Sugapa, Bartolomius Mirip, S.Pd mengatakan bahwa hadirnya Kabupaten Intan Jaya itu atas kerja sama semua pihak tanpa terkecuali termasuk masyarakat Moni, Ndauga dan Dani yang ada di sini (Sugapa-red).

“29 Oktober 2008 lewat DPR RI sahkan RUU pemekaran Kabupaten Deiya dan Kabupaten Intan Jaya menjadi UU”kisahnya. Dikatakannya, untuk perjuangan ini sangat banyak hambatan dan halangan, tetapi kita sebagai suku moni bisa melewati itu dengan sendirinya, serta juga tidak terlepas dari penyertaan sang Bapa di Sorga kepada kita.”ungkapnya dan mendapat aplaus dari semua masyarakat yang ada di tempat kegiatan itu.

Selanjutnya, kegiatan ini di awali dengan Doa Syukuran yang di bawakan oleh Pdt. Timotius Miagoni.

Dalam sambutannya Kepala Distrik Sugapa, Bartolomius Mirip, S.Pd mengatakan dengan dilanghsungkannya syukuran ini kita dapat membagi rasa sukacita diantara semua pihak, sebab untuk memperjuangkan segala sesuatu memanglah sangat berat. Untuk itu Ia menghimbau agar semua komponen masyarakat perlu terus membina serta menjaga kesatuan dan persatuan, sebaliknya tanpa ada hal itu (kesatuan dan persatuan-red) berarti tidak ada damai diantara kita.

Sekarang UU sudah ada di tangan Bupati beberapa waktu lalu yang mana diantar langsung oleh Max Aruri (Biro Pemerintah Provinsi Papua), di rencanakan dalam waktu dekat UU tersebut akan di serahkan dari pemerintah kabupaten Paniai kepada Deiyai dan Intan Jaya.

Sementara itu ditempat yang sama, Danramil Sugapa, George T dengan mengatakan dengan tegas bahwa jika semua intelek dan masyarakat inginkan kabupaten, nah sekarang saat lagi untuk kita tinggalkan perang marga/suku. Tetapi marilah kita jemput kabupaten ini dengan damai, serta pentingnya anak-anak generasi di sekolahkan.

Di tempat yang sama, mewakili Pastor Paroki Bilogai, Frater Yudhy mengatakan Tanah ini adalah tanah terberkati, oleh sebab itu kalau Intan Jaya hadir disini bukan hasil usaha 1 atau 2 orang saja tetapi hasil usaha kita semua, dan jangan lagi membuat hal-hal yang tidask di kehendaki Tuhan di tanah yang sudah di berkati ini.

Di kesempatan yang sama pula, Dewan Adat Sugapa, Manfred Sondegau, Kaum Intelektual, Saul Sondegau dan utusan dari Timika, Apolos Bagau tentang pentingnya bergandengan tangan antara satu dengan yang lainnya, sebab satu untuk semua tanpa memandang suku, ras dan agama, dan di haruskan untuk bekerja sama demi tercapainya kesejahteraan yang baik di negeri yang penuh dengan susu dan madu ini.

Komentar Masyarakat
Kepala Desa Titigi, Rafael Agizimijau menegaskan bahwa pejabat dan intelektual harus bersatu, karena masyarakat sudah bersatu selama ini. Penuturan lainnya juga di sampaikan oleh Kepala Desa Joparu, Andreas Tipagau bahwa ketika kabupaten Intan Jaya ada dan sudah ada karateker di harapkan jangan ada mobil kaca gelap dalam artian tidak boleh ada pekerja seks komersial (PSK) yang masuk ke Intan Jaya, dan harus juga ada kerja sama dari semua pihak terutama bapa-bapa pejabat dan intelektual, dimana jangan saling baku hantam dan baku jatuhkan karena jabatan dan kepentingan belaka……..!!!(Pigundoni)

Rabu, 02 Desember 2009

Sejarah Kota Nabire

Nabire” demikian sekarang disebut, adalah suatu wilayah Pemerintahan Kabupaten yang terhampar di seputar “Leher Burung” pulau Papua. Dalam perkembangannya “Nabire” telah melampaui fase-fase : sebelum masuknya Pemerintahan Belanda, jaman Pemerintahan Belanda dan jaman Pemerintahan RI Hingga saat itu.

Paparan mengenai sejarah Pemerintahan Kabupaten Nabire ini bukanlah merupakan suatu tulisan yang sudah sempurna, sehingga masih perlu untuk dikaji dan disempurnakan bersama-sama sehingga menjadi suatu materi yang bisa dipahami dan diterima oleh semua kalangan.

Asal Usul Kota Nabire :

Sebelum mengulas sejarah singkat Kabupaten Nabire maka terlebih dahulu akan disampaikan uraian secara singkat tentang asal usul dan arti nabire dari beberapa sumber/versi. Uraian mengenai cerita asal-usul dan arti Nabire ini bukanlah untuk dipertentangkan tetapi merupakan wacana untuk dibahas secara bersama, sehingga nantinya bisa diketahui asal-usul dan arti Nabire yang sebenarnya.

Versi Suku Wate

Berdasarkan cerita dari suku wate, bahwa kata “Nabire” berasal dari kata “Nawi” pada zaman dahulu dipertimbangkan dengan kondisi alam Nabire pada saat itu yang banyak terdapat binatang jangkrik, terutama disepanjang kali Nabire. Lama kelamaan kata “Nawi” mengalami perubahan penyebutan menjadi Nawire dan akhirnya menjadi “Nabire”. Suku Wate yang terdiri dari suku yaitu Waray, Nomei, Raiki, Tawamoni dan Wali yang menggunakan satu bahasa terdiri dari enam kampung dan tiga distrik. Pada tahun 1958, Konstein Waray yang menjabat sebagai Kepala Kampung Oyehe menyerahkan tempat/lokasi kepada Pemerintah.

Versi Suku Yerisyam

Menurut versi suku Yerisyam Nabire berasal dari kata “Navirei” yang artinya daerah ketinggalan atau daerah yang ditinggalkan. Penyebutan Navirei muncul sebagai nama suatu tempat pada saat diadakan pesta pendamaian ganti daerah antara suku Hegure dan Yerisyam. Pengucapan Navirei kemudian berubah menjadi Nabire yang secara resmi dipakai untuk memberi nama daerah ini oleh Bupati pertama yaitu Bapak A.K.B.P. Drs. Surojotanojo, SH (Alm). Versi lain suku ini bahwa Nabire berasal dari Na Wyere yang artinya daerah kehilangan. Pengertian ini berkaitan dengan terjadinya wabah penyakit yang menyerang penduduk setempat, sehingga banyak yang meninggalkan Nabire kembali ke kampungnya dan Nabire menjadi sepi lambat laun penyebutan Na Wyere menjadi Nabire.

Versi Suku Hegure

Versi dari suku ini bahwa Nabire berasal dari Inambre yang artinya pesisir pantai yang ditumbuhi oleh tanaman jenis palem-palem seperti pohon sapu ijuk, pohon enau hutan, pohon nibun dan jenis pohon lainnya. Akibat adanya hubungan/komunikasi dengan suku-suku pendatang, lama kelamaan penyebutan Inambre berubah menjadi Nabire.

Dalam Hubungannya dengan Penyelenggaraan Pemerintahan

Nabire dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan saat ini merupakan kependekan dari kata-kata N-nyaman, A-Aman, B-bersih, I-indah, R-ramah, E-elok yang mengandung makna bahwa ”Nabire” (nyaman, aman, bersih, indah, ramah dan elok) tersebut merupakan suatu kondisi yang diharapkan dan membutuhkan keterlibatan semua lapisan masyarakat untuk mewujudkannya.

Jaman sebelum Pemerintahan Belanda

Hingga saat ini, karena keterbatasan sumber data/informasi maka apa dan bagaimana penyelenggaraan pemerintahan pada fase ini belum bisa diuraikan.

Wilayah Tanah Papua sudah sejak tahun 1828 dianggap sebagai bagian dari wilayah/tanah jajahan Belanda di kepulauan Indonesia, namun kekuasaan Pemerintahan Belanda baru sungguh terwujud di Papua ini pada tahun 1898 ketika Tweede Kamer (Parlemen Belanda) mensahkan Anggaran Belanja sebesar F. 15.000 (Gulden), untuk mendirikan pemerintahan di daerah jajahannya.
Papua pada waktu itu Irian Barat dibagi dua bagian masing-masing dikuasai oleh Kontrolir Belanda, bagian utara dinamakan Afdeling Noord Nieuw Guinea berkedudukan di Manokwari dan menguasai daerah yang terbentang dari Jamursba (Kaap de Guide Hoop).
Sebelah barat sampai ujung timur Teluk Humbolt dan bagian barat dinamakan West en Zuid Nieuw Guinea berkedudukan di Fak-fak dan menguasai daerah Jamursba ke selatan, menyusur ke timur sampai ke perbatasan daerah jajahan Inggris (PNG sekarang).
Dengan demikian wilayah Kabupaten Dati II Paniai sebelum dimekarkan masuk ke Noord Guinea dan sebagian lagi masuk ke West en Zuid Nieuw Guinea. Berkali-kali Pemerintahan Penjajah Belanda mengadakan pembagian wilayah Papua ini untuk memudahkan jangkauan penguasaan atas daerah jajahannya.
Upaya pembagian daerah dalam satuan-satuan Daerah Administratif selalu terbentur pada kenyataan yang sulit, sehingga akhirnya harus menyesuaikan diri dengan kenyataan kondisi wilayah.
Hingga tahun 1930 orang belum mengetahui adanya penduduk di Daerah Pegunungan Tengah, demikian pula penduduk daerah ini belum mengetahui adanya Pemerintah yang menguasai wilayahnya.
Oleh sebab itu Pos Pemerintahan pertama yang ada di 3 wilayah ini dulu (Nabire, Paniai dan Puncak Jaya) pada masa Penjajahan Belanda sampai tahun 1938 hanya terdapat pada 2 (dua) tempat dipesisir pantai.

  • Pos Pemerintahan yang pertama di Kwatisore (Distrik Yaur sekarang) dibuka pada tahun 1912 oleh Gezagheberd Welt dari Onder Afdeling di Manokwari.
  • Pos Pemerintahan pertama di Napan Weinami setelah bestuur Assistent dari Serui mengunjungi Napan pada tahun 1920 dan untuk pertama kalinya ditempatkan Bestuur assistent bernama A. Thenu di Napan Weinami, wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Pesisir Pantai ke Goni dan Daerah Pedalaman.

Awal mula dibukanya Pos Pemerintahan Belanda di Enarotali (Wisselmeren) setelah Pastor Tillemans mengunjungi daerah-daerah padalaman Paniai melalui kokonau pada tahun 1932 dengan misi penginjilan Katholik.
Kemudian awal april 1937 di sebelah barat pegunungan tengah Letnan Dua laut Ir. F.J. Wissel Pilot dari Perusahaan Netherlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM), menemukan gugusan danau di kawasan pegunungan yang sama sekali belum dikenal, bahkan di peta bumi masih berwarna putih.
Untuk memastikan penemuan ini, tanggal 18 September 1937 dimulailah ekspedisi yang dipimpin langsung oleh Assistent Residen Fak-Fak Dr. J.W. Cator dan pada tanggal 3 Oktober 1937 menemukan sekelompok masyarakat pegunungan. Penduduk disini termasuk Suku Kapauku yang kemudian dikenal saat ini dengan nama Suku Ekagi. Alam perjalanan pulang, cator mengajak beberapa orang Marga Zonggonau dari Suku Moni sebagai Penunjuk Jalan dan Juru Bahasa.
Pada tanggal 10 Nopember 1938 Pos Pemerintahan Belanda dibuka untuk pertama kali, pejabat yang pertama kali bertugas disini adalah J.F. Victor De Bruin menggantikannya sebagai Controleur di Wisselmeren.
Beberapa tahun kemudian Pemerintah Belanda membuka Onder Distrik di Nabire, yaitu pada tahun 1942, dengan Pejabat Distrik Hooft Bestuur Assistent (H.B.A.) Somin Soumokil.
Pada zaman Gubernur Van Waardenburg tepatnya mulai 1 April 1952 wilayah Papua dibagi dalam 4 Afdeling. Wilayah Paniai merupakan bagian Afdeling Central Nieuw Guinea yang terbagi dalam 3 Onder Afdeling yaitu :

1. Onder Afdeling Wisselmeren dengan ibu kota Enarotali
2. Onder Afdeling Tigi dengan ibu kota Waghete
3. Onder Afdeling Grothe Valley dengan ibu kota Wamena

Dalam perkembangan selanjutnya wilayah Paniai dimasukan dalam Afdeling Geelvinkabaai yang berkedudukan di Biak sebagai Waarnement Residen dengan 2 Onder Afdeling yakni Wisselmeren (Enarotali) dan Tigi, sedangkan Onder Afdeling Baliem Valley dimasukan dalam Afdeling Holanda (Jayapura).
Adapun nama-nama HPB Onder Afdeling Wisselmerem sejak 10 Nopember 1938 sampai dengan tahun 1962 menjelan penyerahan kekuasaan, sebagai berikut :

1. Dr. J.F. Stutterheim Periode 10-11-1938 s/d Feb 1939
2. Dr. J.V. de Bruin Periode Feb 1939 s/d 1947
3. Mayer Raneff Periode 1947 s/d 1949
4. Raphael de Haan Periode 1949 s/d 1955
5. J. Massink Periode 1955 s/d 1960
6. Mr. J. Ch. Haring Periode 1960 s/d 1962
7. Mr. Kron Periode 1962 s/d UNTEA

Sedangkan yang menjadi HPB Tigi (Waghete) pada tahun 1961 adalah Masaairuc.
Sementara itu pejabat-pejabat wilayah Distrik di Wisselmeren dan Tigi sejak 10 Nopember 1962 menjelang penyerahan kekuasaan adalah sebagai berikut :

1. H. Bosh, Adjunct Administratif (A.A.A) Distrik Paniai Timur
2. L. Latenstein, A.A.A. Distrik Paniai Barat
3. Weinand Wambrauw, Candidaat Bestuur Assistant (C.B.A) Distrik Aradide merangkap Homeyo
4. Hans Inggabouw, Bestuur Assistant (B.A) Distrik Tigi
5. Florens Imbiri, Candidaat Bestuur Assistant (C.B.A) Distrik Moanemani
6. Edmundus Inggirik (C.B.A) Distrik Mapia
7. Andreas Karma, Candidat bestuuur Assistent (C.B.A) Distrik Nabire

Pembagian terakhir menjelang penyerahan kekuasaan pada tahun 1961 wilayah Papua terbagi dalam 6 Afdeling, 83 Onder Afdeling, 83 Distrik dari 2.087 Dorp serta 5 wilayah eksplorati. Pada zaman itu Paniai masuk dalam Central Bergland dengan kedudukan Ibukota sementara di Holandia. Di wilayah Paniai terdapat 2 Onder Afdeling yaitu Wisselmeren dan Tigi serta terdapat 5 wilayah Eksplorati Resort (daerah Operasi), yaitu Westelijke Bergland, Bokondini en Zwart Valley dan Noord Oost en West baliem serta Oostelijke Bergland.
Pada masa pemerintahan kedua Onder Adeling trsebut memiliki wilayah Distrik yang meliputi :

a. Onder Afdeling Wisselmeren meliputi :

1. Distrik Paniai Timur

2. Distrik Paniai Barat

3. Distrik Aradide
b. Onder Afdeling Tigi meliputi 3 wilayah Distrik yaitu :

1. Distrik Tigi

2. Distrik Kamu

3. Distrik Teluk Sarera di Nabire

JAMAN PEMERINTAHAN INDONESIA

Setelah Irian Barat, kini Papua kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi, maka dengan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Republik Nomor : 120/PM/1965 tanggal 23 Nopember 1965, Paniai ditetapkan menjadi Kabupaten Aministratif yang terlepas dari Kabupaten Jayawijaya, dengan Ibukota Enarotali. Berhubung Ibukota Enarotali berada di daerah pedalaman, maka berdasakan pertimbagan efektifitas dan efisiensi, Ibukota Kabupaten Paniai dipindahkan di Enarotali ke Nabire pada tahun 1966 dengan alasan Nabire yang berada di Daerah Paniai merupakan pintu masuk ke daerah pedalaman melalui transportasi laut sesuai dengan Surat Usul Bupati Administratif Paniai Nomor : 1035/PU/66 tanggal 17 Oktober 1966.
Sejalan dengan Pergantian Undang-undang Pemerintahan daerah, yaitu nomor 18 tahun 1965, maka Pemerintah Pusat menetapkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Irian Barat, dengan demikian Kabupaten Administratif Paniai ditetapkan menjadi Kabupaten Otonom atau Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai.
Pembangunan Daerah sejak Pelita I dan seterusny, menuntut adanya peningkatan pelayanan Pemerintah dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat, menyebabkan pada tahun 1984 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 821.26-769 tanggal 3 Oktober 1984, Kabupaten Dati II Paniai dibentuk 2 Wilayah Pembantu Bupati yaitu Pembantu Bupati Enarotali dan Pembantu Bupati Mulia, sehingga secara administratif Kabupaten Dati II Paniai dibagi menjadi 2 wilayah Pembantu Bupati 17 Kecamatan, 9 Perwakilan Kecamatan, 332 Desa, 9 Kelurahan an 6 UPT sebagai Desa Persiapan. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 65 Tahun 1996 tentang Penetapan 63 Kecamatan di Provinsi Irian Jaya. Kesempatan tersebut diatas ditetapkan menjadi Kecamata definitif.
Selama berstatus menjadi wilayah Pembantu Bupati, yang pernah menjabat Pembantu Bupati di kedua wilayah tersebut adalah:

1. Pembantu Bupati Enarotali

a. Drs. Bupati Wambrauw tahun 1984 – 1986

b. Agustinus Isir, BA tahun 1986 – 1966
2. Pembantu Bupati Mulia

a. Drs. Ruben Ambrauw tahun 1984 – 1993

b. Drs. AMS. Ardiwinata tahun 1993 – 1994

c. Drs. Marthen Talebong tahun 1994 – 1996

Karena meningkatnya beban tugas dan volume kerja serta pertimbangan efektifitas dan efisiensi dalam pembinaan, pengendalian, koordinasi, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan wilayah serta untuk memperluas jangkauan pelayanan kepada masyarakat, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 52 tahun 1966 Kabupaten Dati II Paniai dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :

1. Kabupaten Dati II Nabire dengan Ibukota Nabire
2. Kabupaten Administratif Paniai dengan Ibukota Enarotali
3. Kabupaten Administratif Puncak Jaya dengan Ibukota Mulia

Saat ini kedua Kabupaten administratif tersebut telah berubah status menjadi Kabupaten Otonom.
Selanjutnya dengan perubahan Unang-Undang Pemerintahan Daerah dari Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan konsep Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka daerah Tingkat II dihapus, sehingga sebutan Kabupaten Dati II Nabire berubah menjadi Kabupaten Nabire.
Kabupetan Nabire setelah pemekaran berdasarkan Peraturasn Pemerintah Nomor 52 Tahun 196 hingga tahun 2004 secara Administratif Pemerintahan terdiri dari 10 Distrik yaitu Nabire, Wanggar, Yaur, Napan, Uwapa, Ikrar, Kamu, Mapia, Sukiaki dan Siriwo. Pada bulan Juli 2005 telah diresmikan du Distrik baru masing-masing Distrik Makimi yang merupakan pemekaran dari Distrik Napan Yaur. Kedua Distrik tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah masing-masing nomor 6 Tahun 2005 tanggal 19 Juli 2005 untuk Distrik Makimi dan Nomor 7 Tahun 2005 tanggal 19 Juli 2005 untuk Distrik Makimi dan Nomor 7 Tahun 2005 tanggal 19 Juli 2005 untuk Distrik Teluk Umar.
Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah selanjutnya mengacu kepada, Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus Provinsi Papua.
Sejak terpisahnya Kabupaten Paniai dari Kabupaten Jayawijaya hingga menjadi Kabupaten Nabire dan hingga saat ini, maka yang pernah menduduki jabatan Bupati Kepala Daerah adalah :

1. A.K.B.P Drs. Soerodjotanojo, SH Periode : 1966 – 1969
2. Karel Gobay Periode : 1969 – 1972
3. Drs. Andreas Soenarto Periode : 1973 – 1978
4. Drs. Serteis Wanma Periode : 1978 – 1984
5. Letkol Inf. Soekiyo Periode : 1984 – 1989
6. Letkol Inf. Joesoef Adipatah Periode : 1998 – 1998
7. Drs. Herman Monim (caretaker) Periode : 1998 – 1999
8. Drs. Anselmus Petrus Youw Periode : 1999 – 2004
9. Drs. Anselmus Petrus Youw Periode : 2004 – sekarang ( 2008 )

Dalam kurun waktu 39 tahun (1966-2005) Kabupaten Nabire (dari Paniai dulu) telah dipimpin oleh 8 Bupati. Dari 8 Bupati tersebut tentunya semua memiliki komitmen untuk membangun daerah dan masyarakat Kabupaten Nabire.

Sementara Sekretaris Daerah yang pernah menjabat sejak Kabupaten Dati II Paniai sampai dengan Kabupaten Nabire hingga saat ini, adalah :

1. Karim, BA Periode : 1966 – 1968
2. D.N. Saefuddin Periode : 1968 – 1970
3. Drs. Jacobus Pattiruhu Periode : 1970 – 1975
4. Soekirno, BA Periode : 1975 – 1982
5. Drs. Djudju Djuhendar Periode : 1982 – 1987
6. Drs. Joel Boray Periode : 1987 – 1992
7. Drs. Andi Baso Bassaleng Periode : 1992 – 1997
8. Drs. L. B. Samosir Periode : 1997 – 2002
9. Drs. J.N. Wahana Periode : 2002 – meninggal 7 Maret 2005
10. Drs. Ayub Kayame Periode : 20 Oktober 2005 – sekarang ( 2008 )

Leave a Reply

Engkau Boleh Ambil Nyawa ku Kemerdekaan ku Tidak