Sabtu, 07 Agustus 2010

SEGERA HENTIKAN KOPROMI POLITIK



Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah merupakan gula-gula politik Jakarta bersama kroni-kroninya untuk meredam aspirasi politik Papua Merdeka yang mengkristal diseantero Tanah Papua sampai menggema sampai manca negara. UU OTSUS Papua diterapkan di Tanah Papua bukan merupakan niat baik Jakarta untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua, bukan juga untuk membangun sumberdaya manusia Papua, akan tetapi melalui paket politik ini Negara Indonesia membunuh Sumber Daya Manusia Papua. Dan juga OTSUS diterapkan bukan untuk melestarikan tanah dan kekayaan alam Papua, akan tetapi menghancurkan tanah dan sumber daya alam Papua. Dengan demikian OTSUS diberikan bukan hanya meredam aspirasi orang Papua, tetapi ada tujuan terselubung yang sangat membahayakan orang Papua, yakni menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua, serta memusnahkan etnis bangsa Papua.

Para kroni-kroni Negara Indonesia yang adalah antek-antek Negara kapitalis di manca Negara memberikan dukungan atas paket politik Jakarta dengan menyalurkan dana OTSUS. Mengapa Negara-negara kapitalis ini mendukung OTSUS Papua dengan memberikan dana OTSUS? Jawabannya adalah Negara Kapitalisme memiliki kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Dana yang diberikan oleh para pendonor OTSUS, bukan karena niat baik mereka untuk membangun Tanah Papua, bukan karena peduli kemanusiaan, akan tetapi dibalik itu melalui dana yang diberikan membangun jembatan permanen bagi masuknya Investasi di Tanah Papua. Para kaum pemodal itu lihai. Dana OTSUS yang diberikan Negara pendonor tidak mengalami kerugian, karena mereka akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan masuknya Investasi di Tanah Papua.

Upaya berikutnya adalah Negara pendonor melalui para investor mendekati kepala Negara untuk membuka investasi baru di Tanah Papua dengan sebuah perjanjian yang menjanjikan. Tentu kepala Negara tidak menolak permintaan para Negara kapitalis ini karena mereka telah berjasa dalam memberikan dana OTSUS. Melalui sebuah perjanjian (MoU), tanah milik Masyarakat Adat dijual kepada Negara-negara Kapitalis. Disaat presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati menandatangani sebuah perjanjian kontrakan Investasi di Tanah Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua, maka pada saat yang sama pula tanah dan rakyatnya telah dijual dan diserahkan kepada Negara negara Kapitalis. Dengan demikian tanah dan kekayaan alam serta rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan serta diberdayakan, justru dengan sebuah tindakan perjanjian (MoU) melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan.

Disaat penandatangan MoU, pada saat yang sama pula presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati telah mengkhianti sebuah konstitusi (UUD 1945). Ini berarti telah mengkhianati kedaulatan Negara Indonesia. Dengan demikian tindakan ini dikategorikan tindakan makar dalam konteks menjual tanah dan sumber daya alam, serta masa depan rakyatnya telah dijual kepada Negara kapitalis dan dengan demikian Negara Indonesia bukan Negara berdaulat, akan tetapi Negara boneka yang dapat dipermainkan oleh negara-negara kapitalis.

Jika demikian, slogan “NKRI” harga mati dapat dipertanyakan. Jika NKRI harga mati mengapa tanah dan kekayaan alam di Indonesia dijual kepada negara-negara kapitalis melalui investor asing? Rakyat Indonesia semestinya mengadili para pemimpin pemerintahan serta legislatif karena justru mereka inilah yang menjual tanah dan kakayaan alam di Indonesia dijual kepada negara kapitalis demi kepentingan perut para elit tertentu dan menguntungkan para investor asing dengan negara kapitalis. Seharusnya para elit inilah yang melakukan perong-rongan terhadap suatu kedaulatan rakyat dengan tindakan menjual tanah dan kekayaan alam yang terkandung dalam seluruh wilayah Indonesia yang kini menjadi konsesi Investor asing.

UU OTSUS Papua adalah suatu produk politik bagi kepentingan Jakarta dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI; dan disisi lain UU OTSUS Papua adalah suatu produk ekonomi bagi kepentingan para negara kapitalis. OTSUS Papua menjadi tembok penghalang bagi penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua karena OTSUS ini diback up oleh negara-negara kapitalisme global demi kepentingan ekonomi semata.

Negara Indonesia menghalkan pelbagai cara untuk mempertahankan Papua menjadi bagian dari NKRI. Setiap kesempatan jika petinggi negara Indonesia ke manca Negara, mereka selalu mengkompanyekan bahwa pemerintah Indonesia telah menyelesaikan pelbagai masalah Papua melalui OTSUS Papua; jika ada rakyat Papua protes atas kegagalan OTSUS, mereka berkompanye bahwa pemerintah Indonesia akan mengupayakan menjalankan UU OTSUS dengan serius. Ketika rakyat Papua meminta referendum, maka para elite Indonesia mengatakan bahwa OTSUS adalah solusi final bagi penyelesaian masalah Papua.

Memang para elit politik Indonesia ini lebih licik melebihi ular beludak. Ular beludak tidak memiliki kemampuan, ia hanya memiliki kelicikan dilidahnya dan kelincahan ditubuhya. Setiap aksi dari orang Papua, pemerintah Indonesia menyikapi dengan pelbagai kelicikan. Ketika OTSUS gagal, pemerintah katakan bukan OTSUS gagal, tetapi tidak berhasil. Tindakan ini menunjunkan suatu ketidak-mampuan untuk membangun sumber daya manusia orang Papua, menunjukkan ketidak-mampuan untuk membangun Tanah dan orang Papua.

Kegagalan OTSUS Papua sudah membuktikan bahwa kegagalan negara Indonesia untuk mengindonesiakan bangsa Papua. Kegagalan OTSUS Papua menunjukan ketidak-mampuan negara Indonesia untuk membangun Tanah dan orang Papua. Hal ini memang terjadi karena bangsa Papua bukan ras melayu, bangsa Papua bukan juga pendiri NKRI, akan tetapi bangsa Papua adalah ras negroid rumpun Melanesia yang tidak dapat dipisahkan dari kawasan negara-negara pasifik. Bangsa Papua juga memiliki sejarah peradabannya sendiri, sejarah perjuangannya sendiri. Pada tanggal 19 Desember 1961 barulah presiden Soekarno mengklaim bangsa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI. Dengan kelicikannya, negara Indonesia dibayang-bayangi oleh Amerika Serikat demi kepentigan ekonomi dan politik, bangsa Papua dianeksasikan ke dalam NKRI melalui suatu percaturan politik tingkat tinggi yang sangat tidak sesuai dengan mekanisme internasional.

OTSUS Papua adalah produk rekayasa negara kapitalis yang ditawarkan kepada negara Indonesia untuk diterapkan di Tanah Papua demi kepentingan ekonomi bagi negara-negara kapitalis, dan demi kepentingan politik bagi Negara Indonesia alias mempertahankan keutuhan NKRI. Negara-negara kapitalis di era OTSUS membuka investasi semakin banyak seiring dengan gagasan Barnabas Suebu yang adalah antek negara kapitalis, bersama para investor menguras dan menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua; sementara Negara Indonesia menjaga bingkai NKRI. Para elite birokrasi bersama TNI dan POLRI diback up BIN, BAKIN dan BAIS menjadi penjaga bingkai NKRI yang setia, sementara negara-negara kapitalis melalui para investor asing menghancurkan isi bingkai NKRI: baik tanah, kekayaan alam yang berdampak pada kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Para elit bersama TNI, POLRI menjaga tuan investor agar menguasai tanah dan kekayaan alam.

Apa yang didapat oleh masyarakat pemilik hak ulayat? Yang diterima dari akibat eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya adalah kehilangan tanah, dusun sagu, kayu bakar, rotan, dammar, hewan, binatang, air bersih dan lain sebagainya yang berdampak langsung pada terancamnya hak hidup bagi pemilik hak ulayat. Dengan demikian OTSUS Papua bukan bertujuan untuk melindungi dan melestarikan segala kekayaan alam dan tanah yang ada, namun membumihanguskan segala yang ada di Tanah Papua, termasuk pemilik hak ulayat (orang Papua) yang mendiami di atasnya.

Sudah terbukti bahwa paket politik UU OTSUS Papua bukan penyelesaian masalah Papua, akan tetapi OTSUS hanya menambah masalah baru dan ternyata OTSUS telah mengancam hak hidup orang Papua, maka dari awal tahun 2001 bangsa Papua telah menolak paket politik ini; namun negara Indonesia didukung para sekutunya menerapkan di tanah Papua; setelah empat tahun kemudian, melalui sidang III DAP yang berlangsung di Manokwari pada awal tahun 2005 menyatakan bahwa OTSUS gagal, maka pada tanggal 12 Agustus 2005 telah dikembalikan ke Jakarta melalui DPRP dalam kemasan peti mayat OTSUS. Namun, aksi pengembalian ini dimanfaatkan pemerintah Indonesia dengan mempercepat pembentukan MRP dan mempercepat penguatan propinsi IJB dengan sebuah payung hukum.

Kalaupun negara Indonesia mempertahakan OTSUS di tanah Papua, namun melalui Musyawarah MRP bersama orang asli Papua yang digelar antara tanggal 9 dan 10 Juni 2010 menyatakan bahwa OTSUS telah gagal total, maka harus dikembalikan ke Jakarta. Melalui musyawarah yang difasilitasi oleh MRP inilah melahirkan 11 (sebelas) rekomendasi. Sebelas rekomendasi ini telah ditetapkan oleh MRP melalui sebuah pleno MRP yang dihadiri oleh 45 anggota MRP pada tanggal 16 Juni 2010. MRP bersama orang asli Papua telah mengantar sebelas rekomendasi ke DPRP pada tanggal 18 Juni 2010 untuk ditindaklanjuti melalui sebuah mekanisme DPRP yakni Sidang Paripurna.

Puluhan ribu massa pendemo menduki taman Imbi, dan mendesak segera mengadakan sidang paripurna; aksi damai yang sama pula digelar dipelbagai tempat, baik dalam negeri dan luar negeri; namun para pimpinan DPRP tidak ada ditempat. Hanyalah beberapa anggota DPRP beserta seorang pimpinan (wakil ketua I-Yunus Wonda) menerima aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua. Pada kesempatan itu, pihak DPRP menawarkan tiga minggu untuk mempersiapkan diri untuk dibahas dalam mekanisme DPRP. Untuk itu terjadi penandatangan nota kesepakatan (MoU) antara DPRP dan MRP serta perwakilan massa aksi damai. Untuk menangih janji DPRP, pada tanggal 8 Juli 2010 puluhan ribuh massa aksi damai longmars dan menduduki di DPRP selama dua hari satu malam, namun kebanyakan anggota dan para pimpinan DPRP tidak ada ditempat.

Pada tanggal 9 Juli 2010 pihak kepolisian memblokade di Taman Imbi dengan peralatan senjata lengkap hendak membubarkan massa pada jam empat sore. Atas upaya keras dari beberapa tim loby berusaha menghadirkan wakil ketua III DPRP (Komarudin Watabun). Pada kesempatan itu Kamarudin didampingi beberapa anggota DPRP menyampaikan permohonan maaf dan diminta untuk ditunda dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Di bawah tekanan represi aparat POLRI, perwakilan massa aksi membacakan sebuah MoU yang berisi memberikan waktu bagi DPRP sampai pada tanggal 19 Juli 2010 untuk mengadakan sidang paripurna. Namun, MoU ini tidak sempat ditanda-tangani karena adanya represi aparat POLRI besiaga satu untuk membubarkan massa secara paksa. Kesempatan ini dimanfaatkan baik oleh DPRP dengan memberikan suatu janji bahwa pihak DPRP akan memanggil para perwakilan massa aksi damai pada tanggal 12 Juli 2010 untuk membicarakan langkah-langkah kongkrit yang akan ditempuh dalam memproses aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua.

Janji Kamarudin Watubun memang ditepati. Hari Senin, tanggal 12 Juli 2010 para perwakilan pimpinan komponen bangsa Papua diundang oleh DPRP. Pada kesempatan itu, semua pimpinan DPRP berada ditempat dan ketua DPRP (John Ibo) memimpin pertemuan. Pertemuan ini, selain dihadiri oleh perwakilan komponen bangsa Papua, dihadiri juga oleh anggota DPRP. Dalam pertemuan ini ada anggota DPRP berargumentasi untuk melemahkan desakan komponen bangsa Papua. Terlihat bahwa ada beberapa anggota DPRP mendapat tekanan dari pimpinan partainya dan juga kepala Negara Indonesia, maka ada upaya untuk mengalihkan tuntutan komponen bangsa Papua. Pada akhirnya disepakti bersama bahwa pada tanggal 3 Agustus 2010 akan membentuk Tim Khusus untuk mempersiapkan suatu forum ilmiah untuk membedah OTSUS, di mana dalam forum itu semua pihak, baik organisasi pemerintahan dan non pemerintahan serta komponen bangsa Papua menyampaikan kajiannya yang diperkuat dengan indikator kegagalan atau keberhasilan OTSUS. Pimpinan DPRP (John Ibo) pada kesempatan itu mememerintahkan Komisi A DPRP untuk mengkoordinasikan pimpinan eksekutif, legislatif, komponen akademisi, LSM dan Agama serta organisasi kemasyarakatan di Tanah Papua agar pada tanggal 3 Agustus 2010 membentuk Tim Khusus.

Pada tanggal 2 Agustus 2010 pada malam hari beberapa pimpinan elemen gerakan dikagetkan dengan sebuah surat yang dilayangkan oleh DPRP kepada perwakilan komponen bangsa Papua yang berisi penundaan pertemuan yang direncanakan tanggal 3 Agustus 2010 ditunda lagi selama dua minggu. Jika dihitung, maka waktu yang diberikan oleh DPRP jatuh tempo pada tanggal 17 Agustus 2010. Kalaupun demikian, pada tanggal 3 Agustus 2010 perwakilan komponen bangsa Papua mendatangi DPRP menangih janjinya. Melalui loby yang memakan waktu berjam-jam, pada jam 15.00 WPB menggelar pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua dengan pihak DPRP. Kalaupun ketua DPRP (John Ibo) berada ditempat, namun Ketua dan Sekretaris Komisi A yang memimpin pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua. Dalam pertemuan itu, Ketua Komisi A DPRP bersama sekretarisnya menyampaikan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan oleh DPRP, maka janji DPRP pada tanggal 12 Juli 2010 tidak dipenuhi.

Pada kesempatan itu, beberapa perwakilan komponen bangsa Papua menyampaikan pandangannya, yang intinya harus ada mekanisme DPRP untuk memutuskan aspirasi yang telah disampaikan yakni melalui Sidang Paripurna. Namun apa yang terjadi? Pihak DPRP memaksakan bahwa DPRP bersama massa aksi damai akan mengantar sebelas rekomendasi ke Gubernur Papua untuk diteruskan ke Jakarta antara tanggal 20 s/d 25 Agustus 2010. Sikap DPRP ini telah menunjukkan bahwa ada upaya untuk tetap mempertahankan OTSUS yang gagal total dan lebih dari itu ada upaya terselubung untuk menghancurkan tanah, kekayaan dan orang Papua melalui pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di Tanah Papua, serta melemahkan semangat perjuangan bangsa Papua. Ini sebuah tindakan DPRP yang sangat tidak bermanusiawi dan memalukan.

Momentum pengembalian OTSUS jilid II melalui lembaga negara yakni MRP dan di antar ke DPRP adalah momentum terpenting untuk mengawal perjuangan bangsa Papua. Namun, aspirasi murni yang dikeluarkan dalam Musyawarah MRP bersama orang asli Papua itu terkandas di DPRP. Lembaga yang katanya penampung dan pejuang aspirasi rakyat Papua itu tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Lembaga DPRP bagai tong sampah yang menerima aspirasi dari masyarakat dan dibuang ke dalam tong sampah lembaga ini. Aspirasi yang disampaikan tidak diproses melalui mekanisme-mekanisme yang ada di DPRP, tetapi kebanyakan aspirasi, apalagi aspirasi yang berkaitan dengan menentukan nasib sendiri, para pekerja yang berkerja di tong sampah lembaga ini, aspirasi dari orang Papua dibuang dan dibakar.

Ironis memang. Anehnya adalah bahwa dilembaga tong sampah aspirasi ini kebanyakan para pekerja adalah putra daerah (asli) Papua. Namun, para pekerja tertentu yang bekerja dilembaga tong sampah aspirasi ini bekerja atas kemauan tuannya yang ada di Jakarta; mereka bekerja apa yang dikehendaki mandornya yang ada di Jakarta. Para pekerja murahan tertentu yang bekerja di lembaga tong sampah ini tidak memiliki hati nurani, tidak memiliki rasa kemanusiaan, tidak memiliki rasa senasib, tidak memiliki rasa solidaritas dengan para kaum jelata bangsa Papua yang menduduki di tong sampah sampai berhari-hari menantikan sebuah keputusan resmi dari pekerja lembaga tong sampah ini.

Harapan akan digelarnya Sidang Paripurna menjadi sirnah ketika para elite di seluruh Tanah Papua bekerja sama dengan para elite di Jakarta untuk melemahkan momentum yang sedang bergulir dengan pelbagai bentuk tindakan yang sangat memalukan. Hasil rekomendasi Musyawarah MRP bersama orang asli Papua berujung pada Revisi UU OTSUS dan melahirkan pelbagai perdasi-perdasus, serta Peraturan Pemerintah; tentu juga disertai dengan pembentukan MRP periode ke II dan diikuti pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten dan distrik di seluruh Tanah Papua.

Dalam rangka itu para elite Papua di seluruh Tanah Papua Barat pada tanggal 5 Agustus 2010 diundang oleh presiden SBY untuk melemahkan momentum pengembalian OTSUS dengan menggadaikannya dengan revisi UU OTSUS disertai perangkat hukum lainnya dan tentu kebijakan lain yang tidak memihak orang Papua disiapkan bersama dalam kesempatan ini juga. Para elite Papua ini menjadi boneka Jakarta dan juga menjadi pembunuh darah dingin secara tidak langsung terhadap orang asli Papua yang sedang menuju kepunahan etnis. Para elite politik Papua inilah yang sudah, sedang dan akan menjual tanah dan kekayaan alam Papua serta menghancurkan masa depan hidup orang asli Papua dengan tindakan mereka yang kompromi dengan OTSUS Papua yang sudah gagal total. Jika kedua Gubernur dan para bupati di tanah Papua serta DPR di tanah Papua serta MRP menerima pelbagai paket politik revisi OTSUS Papua dan kebijakan politik kotor lainnya, maka secara tidak langsung para elite Papua inilah yang menjual bangsa Papua ke negara neokolonial Indonesia dan sekutunya untuk dibumihanguskan melalui pelbagai pendekatan dan penerapan kebijakan yang tidak memajukan dan tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Upaya revisi UU OTSUS ini telah digembor-gemborkan oleh kaki tangan neo-kolonial Indonesia melalui pelbagai kesempatan, entah lewat diskusi, seminar, loka-karya dan dilansir melalui pelbagai media cetak dan elektronik. Ada dua lembaga perpanjangan pemerintah yang secara nyata-nyata tampil menjadi pahlawan untuk mempertahankan OTSUS di Papua adalah ICS dan Demokratik Centre. Melalui wadah-wadah ini diback up oleh wadah-wadah lain yang wajahnya tersembunyi telah mengadakan seminar sehari di Hotel Sentani Indah dengan menghadirkan perwakilan orang Papua sebanyak 70 orang dari pelbagai daerah Papua pada tanggal 21 Juli 2010. Tujuh puluh orang Papua yang tidak tahu menahu dengan tujuan terselubung digelarnya seminar itu, seolah-olah memberikan legitimasi terhadap OTSUS yang sudah gagal total dengan melahirkan sebuah draft PERDASI tentang pembentukan MRP periode II yang sudah dirancang dan disiapkan oleh perpanjangan pemerintah Indonesia di Tanah Papua.

Tindakan para elite politik di seluruh Papua ini sangat memalukan. Gelombang demonstrasi sudah dan sedang mewarnai Tanah Papua dan di luar Papua dalam rangka menolak dan mengembalikan paket politik Jakarta yang tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua, namun pada saat yang bersamaan pula, para elite politik Papua ini telah membangun kompromi politik dengan Jakarta untuk menerapkan paket politik yang berikutnya.

Agar momentum pengembalian OTSUS ini melemah, maka lembaga DPR yang ada di Tanah Papua tidak melaksanakan tugasnya memproses dan membawa aspirasi MRP bersama orang asli Papua melalui mekanisme DPRP yang ada, misalnya BANMUS dan diputuskan dalam sidang paripurna. Ulur-ulur waktu yang dilakukan DPR di Tanah Papua adalah merupakan suatu tindakan kaki tangan musuh dalam upaya menggolkan setingan Jakarta untuk menawarkan dan menerapkan kebijakan yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi yang tujuannya melumpuhkan atau menghancurkan tanah dan orang Papua.

Jika inilah yang terjadi, maka justru para elite pilitik yang adalah orang Papua telah menjual seluruh angkasa raya Papua kepada negara neokolonial dan sekutunya hanya demi kepentingan politik dan ekonomi semata. Jika Revisi OTSUS dan perangkat hukum lainnya serta paket politik lainnya diterima oleh para elite politik orang Papua, maka sudah jelas bahwa mereka ini menjadi pengkhianat terhadap perjuangan luhur bangsa Papua dan dengan tindakan mereka telah melecehkan jati diri orang Papua.

Menyikapi dinamika politik yang sudah, sedang dan akan mengemuka di Tanah Papua, maka pada kesempatan ini kami menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
1) Segera menghentikan upaya kompromi politik dengan Indonesia yang sudah dan sedang diperjuangkan oleh elite politik di Tanah Papua.
2) Segera menghentikan upaya revisi UU OTSUS Papua dan penerapan kebijakan politik lain di seluruh Tanah Air Papua karena OTSUS sudah terbukti gagal total dan tak dapat diterapkan kembali lagi.
3) Segera menghentikan upaya politik devide et impera (politik adu domba) di antara orang Papua.
4) DPR Papua dan DPRD Papua Barat segera membawa sebelas rekomendasi melalui mekanisme yang ada dilembaga terhormat ini dan diputuskan melalui sidang paripurna dan selanjutnya diserahkan ke kedua Gubernur di Tanah Papua untuk dikembalikan paket politik OTSUS ke Jakarta dan para sekutunya.
5) Segera menghentikan semua Investasi di Tanah Papua sebelum masalah Papua dibahas dan dituntaskan melalui suatu mekanisme Internasional.
6) Diserukan kepada segenap rakyat semesta Papua bahwa:
a) Jangan tergiur dengan pelbagai tawaran murahan yang ditawarkan Negara Indonesia melalui tim sukses NKRI karena segala bentuk tawaran murahan Indonesia dengan tujuan menghancurkan tanah dan sumber daya alam serta memusnahkan orang asli Papua.
b) Jangan terpancing dengan pelbagai isu murahan yang memecah-belah persatuan kita, kita tetap bersatu, tetap solid dan berjuang bersama untuk menentukan masa depan bangsa Papua.
7. Diserukan kepada segenap komponen bangsa Papua segera melakukan konsolidasi total untuk melakukan perlawanan total melalui aksi-aksi damai terhadap pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di seluruh Tanah Papua Barat.
8. Diserukan kepada masyarakat Internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keadilan, kebenaran, demokrasi dan Hak Asasi Manusia terlebih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil langkah-langkah kongrit dalam rangka menyelesaikan sengketa atas Status Tanah Papua Barat sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dalam menegakkan kemanusiaan di planet bumi ini.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan sesungguhnya dan dikeluarkan untuk diperhatikan serta dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait demi menegakkan harkat dan martabat orang Papua sama seperti manusia lain di planet bumi ini.

Port Numbay: Sabtu, 7 Agustus 2010

“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar