Sabtu, 28 Agustus 2010

Stigmatisasi Menghancurkan Peradaban Bangsa Papua


Berkembangnya peradaban suatu bangsa membutuhkan proses dan dibutuhkan para kaum visioner yang mampu melakukan terobosan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia. Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan dari latar belakang budaya, praktek ekonomi, pendidikan, sosial politik, letak ekologis, dan lain sebagainya. Peradaban dunia kuno yang dikatakan sebagai bangsa termaju adalah peradaban Timur Tengah pada abad 2500 Sebelum Masehi dimana mulai mengenal tradisi tulis-menulis dengan pola yang sangat sederhana. Pada jaman inilah struktur kemasyarakatan dari kesukuan menjadi Kerajaan. Timur Tengah sebagai pencetus peradaban manusia kuno dengan membuka sekolah-sekolah. Mula-mula sekolah-sekolah yang didirikan dalam rangka mempersiapkan orang yang mampu berkomunikasih dalam berdiplomasi, dalam dan luar negeri, serta disiapkan pegawai-pegawai di Istana Raja, entah menjadi panitera, sekretaris, imam, hakim, dan nabi di Istana Raja. Pengaruh Timur Tengah ini berdampak juga di Israel sejak Raja Daud berkuasa di Israel. Baik Timur Tengah kuno dan Israel mendirikan sekolah-sekolah agar dipersiapkan tenaga-tenaga yang professional yang nantinya dipekerjakan di Istana Raja, bahkan menjadi diplomat di luar negeri.
Kemajuan itu terjadi karena dilatarbelangi oleh tradisi tulis-menulis. Budaya tulis-menulis inilah yang melahirkan pelbagai filsuf, pertama-tama muncul di Yunani. Seiring dengan perputaran waktu, peradaban manusia mulai berkembang ke pelbagai pelosok planet bumi.
Kemajuan dibidang ilmu dan teknologi canggih berkembang akibat pengaruh para pemikir kuno di Timur Tengah. Keingin-tahuan manusia mulai meningkat, maka para pemikir bertanya dan terus bertanya sambil mencari hakekat yang hakiki, sambil mencari solusi-solusi alternatif untuk menjawab permasalahan yang dihadapi manusia. Keingin-tahuan yang didukung oleh budaya tulis-menulis mengakibatkan ilmu dan teknologi berkembang makin pesat. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengantar manusia melahirkan pelbagai hal yang spektakuler di pelbagai belahan dunia. Misalnya kemajuan Amerika Serikat adalah pengaruh dari para pemikir bangsa Israel yang berdominsili di Amerika Serikat.
Perkembangan peradaban suatu bangsa yang kemudian mendirikan suatu Negara ditentukan oleh tokoh-tokoh visioner yang mampu melahirkan pelbagai hal-hal baru. Cina yang dikenal sebagai pengusaha kelas kakap di dunia, justru dipacuh oleh latar belakang peradaban budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Kebanyakan bangsa-bangsa di dunia yang sudah menjadi merdeka (berdaulat) dan masih berjuang untuk suatu kebebasan, adalah bangsa-bangsa yang menganut budaya lisan, dan cara pandang terhadap segala sesuatu. Faktor budaya lisan dan faktor penghambat lain, inilah yang menghambat perkembangan peradaban suatu bangsa. Pada umumnya latar belakang peradaban bangsa-bangsa di Indonesia tidak mengenal istilah budaya tulis-menulis. Dampak dari faktor ini mengakibatkan perkembangan peradaban di Indonesia masih membutuhkan keuletin dan para membutuhkan para tokoh pemikir (visioner).
Dalam pelbagai kesempatan para pejabat Indonesia selalu merendahkan peradaban bangsa-bangsa lain di Indonesia, misalnya Papua. Para pejabat yang nota benenya kebanyakan dari bangsa Jawa selalu mengatakan bahwa bangsa Papua adalah bangsa yang primitif (terbelakang), tidak kreatif, bodoh, tidak inovatif, tidak miliki jiwa interprenur, dan lain sebagainya. Mereka merasa bahwa peradaban Negara Indonesia telah maju, khususnya di Jawa. Ironisnya ialah bahwa Negara Indonesia adalah negara miskin, dan masih digolongkan ke dalam negara berkembang alias dunia ketiga. Para pejabat Indonesia yang kebanyakan berasal dari Jawa ini menepuk dada bahwa mereka akan menjadi negara maju, sama seperti negara lain di dunia, misalnya Amerika, China, Jepang; tetapi menurut penulis ini hanya impian belaka. Ambisi menjadi sebuah Negara maju superpower, tetapi kemampuan Indonesia dalam mengimbangi perkembangan dibidang ilmu dan teknologi masih rendah. Menurut pengamatan penulis ambisi besar, tetapi tidak diimbagi dengan kemampuan dan tindakan kreasi dalam melahirkan hal-hal spektakuler.
Sesugguhnya tindakan para pejabat Indonesia yang mana melecehkan peradaban bangsa Papua dengan pelbagai stigimatisasi yang miring dapat dikatakan sebagai tindakan manusia yang tidak beradab. Manusia yang beradab tentu ia menghargai apa pun peradaban bangsa lain, manusia yang beradab, tentu memberi teladan dengan tindakan nyata, bukan dengan kata-kata penghinaan; manusia yang beradab tentu akan mengarahkan orang lain untuk melakukan pelbagai terobosan. Pertanyaannya ialah bahwa bagaimana mungkin Negara Indonesia yang dikategorikan sebagai negara miskin membimbing manusia lain untuk berkembang? Bagaimana mungkin buta bimbing buta? Jika inilah yang terjadi, maka mereka masuk ke dalam jurang kehancuran.
Ketidak-mampuan Negara Indonesia dalam segala line terbentang luas di depan mata, namun segala kelemahannya itu dianggap sebagai hal yang biasa (wajar), maka itu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme membudaya dalam kelangsungan ketatanegaraan Indonesia. KKN adalah bukti dari suatu peradaban Indonesia yang telah membudaya dan masih dipraktekan sampai detik ini.
Peradaban Negara Indonesia yang dilandaskan pada kebohongan dan kebodohan, telah melahirkan buah-buahnya, yakni stigmatisasi bangsa lain, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; kekerasan, diskriminasi, pelecehan, terror, intimidasi, penghinaan, ketidak-adilan, pembantaian, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin Negara Indonesia membangun peradaban bangsa Papua, jika Negara Indonesia sendiri tidak memiliki peradaban bangsa yang kokoh. Orang Papua memahami betul bahwa selama bangsa Indonesia berada di bawah kungkungan NKRI, maka selama itulah peradaban bangsa Papua tidak akan pernah maju.
Stigmatisasi bodoh, jijik, kotor, terbelakang, tidak mampu, tidak kreatif, tidak interprenur, OPM, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), separatis, manusia kera, pemalas, peminum, dan sebagainya adalah tindakan pembunuhan psikologis orang Papua atau pembunuhan karakter orang Papua. Bagaimana mungkin orang Papua berkembang, jika setiap saat orang Papua dihujani dengan pelbagai stigmatisasi dari orang Indonesia. Justru stigmatisasi inilah yang mengakibatkan karakter (psikologi) orang Papua dihancurkan, maka mana mungkin orang Papua mengembangkan segala bakat dan minatnya untuk mencapai peradabannya. Misalnya, dalam keluarga, jika orang tua atau sanak-saudari mengatakan kepada anak-anaknya distigmatisasi negatif, misalnya dicap bodoh. Kata-kata ini diulang terus-menerus, maka kata “bodoh” ini terpatri dalam jiwa anak itu; kemana pun anak itu pergi, kata “bodoh” itu terus terusik dalam jiwanya seiring perkembangan usia. Ketika dihadapkan pada sesuatu masalah, ia merasa bahwa dia tidak mampu, bodoh dan tak berdaya, tak ada semangat untuk mencoba, tidak ada daya untuk menguji kemampuannya. Hal ini disebabkan karena karakter (psikologi) anak itu telah dibunuh (dihancurkan) oleh orang tua atau sanak-saudaranya dengan stigmatisasi “bodoh”. Hal serupa sudah dan sedang dialami oleh orang Papua yang berada dalam stigmatisasi Negara Indonesia.
Camkanlah bahwa stigmatisasi ini tak akan mampu mematahkan atau meredam perjuangan bangsa Papua untuk mengembalikan jati diri yang telah dirampas dan dihancurkan oleh Negara Indonesia bersama sekutunya yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia Papua. Buktinya bahwa Timur Leste yang dihujani dengan pelbagai stigmatisasi oleh Indonesia, namun mereka berjuang dengan satu tekad penentuan nasib sendiri, maka pada tahun 1999 Timur Leste telah menjadi Negara berdaulat. Tembok stigmatisasi Indonesia yang memenjara Timur Leste telah dihancurkan melalui sebuah referendum yang mengantar pada satu kemenangan yakni “kemerdekaan” Timur Lorosae.
Ironisnya setelah Timur Leste memerdekakan diri pada tahun 1999 melalui pilihan bebas, stigmatisasi itu masih diwacanakan dalam pelbagai kesempatan oleh pejabat Indonesia dan rakyat tertentu dalam upaya membunuh karakter orang Papua untuk tidak berjuang. Misalnya pada bulan Juli 2010 penulis mewawancari KAKANWIL DEPHUKAM Propinsi Papua, (Nasarudin Bunas) mengatakan: “Kemerdekaan itu tidak harus berpisah dari NKRI, bagaimana dia merdeka dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya itulah yang harus diperjuangkan oleh orang Papua. Saya tidak yakin, Papua ini terlepas dan setelah lepas Papua akan sejahtera. Misalnya Timur Leste menjadi negara miskin, setelah merdeka. Saya belum yakin, bahwa Papua merdeka hari ini, saya belum yakin… saya belum yakin”[2] katanya. Inilah cara–cara pejabat Indonesia untuk membangun suatu asumsi dengan parameter pemahamannya yang kontra dengan kenyataan di Timur Leste.
Berikut ini kutipan wawancara dengan seorang korban kekerasan yang pernah mengikuti kegiatan pelatihan di Timur Leste: “jika dibanding dengan Indonesia dan Timur Leste, saya melihat Indonesia belum merdeka secara total. Di Timor Leste kebebasan berpendapat diberi ruang, dan tak ada hambatan dalam penyampaian aspirasi. Ketemu para pejabat, termasuk ketemu presiden Timur Leste pun tidak berbelit-belit, tidak sama seperti di Indonesia…. Saya membayangkan bahwa dalam waktu yang singkat Timur Leste akan maju dibanding dengan NKRI yang sudah genap 65 tahun merdeka secara politik, namun rakyatnya belum merdeka dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lebih penting adalah merdeka dari rasa takut, dikucilkan, dilecehkan, stigmatisasi, ketidak-adilan, dan diskriminalisasi”,[3] kenangnya.
Peradaban bangsa Timor Leste tak dapat dibangun oleh bangsa-bangsa lain di dunia; misalnya Negara Portugal dan Negara Indonesia yang pernah menjajahnya; hanyalah orang Timur Leste yang dapat membangun bangsanya sendiri. Demikian pula peradaban Bangsa Papua tak dapat dibangun oleh bangsa-bangsa lain di dunia yang menepuk dada bahwa merekalah bangsa yang beradab, yang mengagung-agungkan merekalah bangsa maju, terdidik, terlatih, terampil dan ulet. Camkanlah bahwa suatu saat peradaban bangsa Papua akan dibangun oleh putra-putri terbaik bangsa Papua yang terpilih, visioner, terdidik, terlatih, ulet, terampil, inovatif dan kreatif. Inilah kutipan Izak Samuel Keijne yang mengukir-abadikannya di atas sebuah batu: “Bangsa-bangsa lain di dunia tidak akan mampu membangun Tanah Papua, tetapi suatu saat bangsa ini akan bangkit dan akan membangun bangsanya sendiri”. Inilah sebuah visi Tuhan yang disampaikan oleh seorang nabi, hamba Tuhan, sang visioner I. S. Keijne. Dalam pelbagai kesempatan, bangsa Papua selalu mengaminkan visi ini karena visi Tuhan ini pasti akan digenapi.
Bangsa Papua yang Anda stigmatisasi ini, suatu saat ia akan tampil menjadi bangsa yang memberkati bangsa-bangsa. Hari ini Anda merendahkan martabat manusia Papua, hari ini Anda meremehkan peradaban bangsa Papua, tetapi suatu saat, bangsa ini akan mengangkat martabat bangsanya; suatu saat, bangsa ini akan membangun peradaban bangsanya di atas Tiga Hukum Dasar, yakni: Hukum Adat, Hukum Agama dan Hukum Nasional, yang disebut: Tiga Hukum Dasar (foundation law three) yang adalah Tiga Hukum Dasar Pelatak Peradaban Bangsa Papua.
Di atas tiga hukum dasar ini, akan berdirilah suatu peradaban bangsa yang kokoh di Ufuk Timur dengan panji-panji kemegahan jati diri bangsa Papua “Sang Bintang Fajar” yang gilang memilang, dan nyanyian syukur yang menawan hati “Hai Tanahku Papua” serta lambang ketulusan bangsa Papua “Burung Mabruk” yang akan berjaja selamanya di atas sebuah panji-panji kemenangan “Hanya Tuhanlah Pembebas, Raja Kami”.
Demi membangun peradaban bangsa Papua, dibutuhkan pengorbanan yang tiada taranya dari setiap pribadi orang Papua dan simpatisan. Peradaban bangsa Papua harus dibangun di atas beberapa kekuatan, antara lain: “Kekuatan Kita adalah Doa (Alkitab) Kita; Kekuatan Kita adalah Komitmen Kita; Kekuatan Kita adalah Persatuan Kita; Kekuatan Kita adalah Tindakan Kita; dengan berlandaskan kekuatan-kekuatan ini, orang Papua pasti akan membangun peradaban bangsanya.

Jumat, 20 Agustus 2010

NKRI BUKAN SEGALANYA


“NKRI harga mati”, inilah sebuah slogon yang didegungkan oleh kekuatan negara TNI, POLRI, pejabat Negara dan masyarakat tertentu. Slogan ini lahir bukan tiba waktu, tiba akal; akan tetapi slogan ini lahir dari kenyataan bahwa nasionalisme keindonesia makin luntur seiring munculnya gerakan masyarakat pribumi dibeberapa wilayah RI untuk membebaskan diri dari NKRI.
Dengan adanya gerakan pembebasan dibeberapa wilayah di Indonesia ini, maka semangat nasionalisme keindonesia perlu dipertanyakan. Kenapa nasionalisme keindonesiaan makin luntur dan muncullah nasionalisme lain? Menurut pendapat saya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, adanya pemahaman yang mendasar bahwa penentuan nasib sendiri adalah hak segala bangsa yang tidak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; karena pada hakekatnya masyarakat pribumi (bangsa pribumi) memiliki hak yang mutlak untuk mendirikan suatu negara berdaulat, sama seperti bangsa Jawa mendirikan Negara Republik Indonesia;
Kedua, munculnya gerakan membebaskan diri dari NKRI karena Indonesia mengklaim perjuangan pembebasan masing-masing daerah yang melepaskan diri dari penjajahan Belanda dan negara lain. Misalnya perjuangan Pattimura di Ambon-Maluku bukan bermaksud untuk mendirikan NKRI, akan tetapi membebaskan wilayah Ambon-Maluku dari penjajahan negara kolonial Belanda. Menjelang proklamasi, RI mengklaim wilayah Aceh sampai Ambon adalah bagian dari NKRI. Sedangkan untuk Papua, baru pada tanggal 19 Desember 1961 melalui TRIKORA mengklaim Papua adalah bagian dari NKRI. Misalnya RI merekayasa perjuangan Ambon-Maluku menjadi perjuangan untuk mendirikan negara RI. Hasil rekayasa perjuangan tersebut diredupsi ke dalam pendidikan sejarah. Namun, rekayasa sejarah seperti ini tidak memberikan makna yang berarti bagi nasionalisme keindonesiaan. Terbukti bahwa RMS masih tetap eksis untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Ambon-Maluku.
Ketiga, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan dan pelatihan, tidak mampu menggantikan semangat nasionalisme yang sudah tertanam kuat dalam suatu tatanan kehidupan bangsa tertentu karena sistem kekerabatan, budaya, ekonomi dan politik yang dianut oleh bangsa Jawa sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain di Indonesia.
Keempat, pendekatan bangsa Jawa untuk mengindoktrinisasi nasionalisme keindonesiaan ditempuh dengan pendekatan kekerasan, rekayasa dan diskriminasi rasial, maka nasionalisme keindonesiaan itu sangat tidak mungkin menjadi bagian integral dari bangsa-bangsa lain yang ada diantara Sabang sampai Merauke, karena jika ditelusuri nasionalisme keindonesiaan yang diindoktinisasi itu identik dengan jawanisasi.
Kelima, nasionalisme keindonesiaan yang diindoktrinisasikan melalui pendidikan, tidak dihayati dan diamalkan oleh para elite politik atau apparatus Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dengan demikian terbukti bahwa melalui tindakannya menunjukkan nasionalisme keindonesiaan yang sempit.
Keenam, Asas Dasar yang menjadi perekat bangsa-bangsa di Indonesia belum ada. Semboyang “Bhineka Tunggal Ika” hanyalah menjadi sebuah kalimat yang tidak mengandung arti yang mengikat bangsa-bangsa yang ada di antara Sabang sampai Merauke yang beraneka ragam budaya, politik, ekonomi dan tananan kemasyarakatan.
Ketujuh, NKRI mengakui dirinya sebagai Negara hukum dan demokrasi, namun terbukti bahwa hukum di Negara ini tidak ditegakkan. Ada istilah yang berkembang di tengah masyarakat bahwa wong gede yang melakukan kejahatan kemanusiaan, termasuk KKN dilindungi oleh Negara, dan atau hukum dapat dibeli dengan uang (kebal hukum dan impunity); sebaliknya, kepada wong cilik hukum bertindak. Wong cilik tak bisa berbuat banyak, mereka hanya menerima keadaan yang terjadi. Fakta membuktikan bahwa kaum jelata menjadi korban dari sebuah praktek hukum yang tidak berkeadilan. Lain lagi dengan penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia adalah demokrasi yang berwajah kekerasan, pemaksaan kehendak, diskriminasi rasial, dan pengekangan. Demokrasi dipenjara oleh sistem Negara Indonesia yang kaku, terlebih aparat Negara, baik TNI dan POLRI. Wajah demokrasi di Indonesia berada di ujung laras senjata dan dikendalikan oleh kekuasaan Negara. Karena itu, tak ada ruang bagi rakyat sipil, khususnya di Tanah Papua untuk menyampaikan aspirasinya.
Kedelapan, tidak ada tokoh Intelektual yang muncul sebagai tokoh pemersatu Sabang sampai Merauke. Pejabat Negara Indonesia baik dari pusat sampai daerah hampir didominasi oleh orang Jawa. Tak ada kesempatan bagi warga Negara lain di luar Jawa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Terbukti bahwa orang nomor satu di Indonesia hanyalah diperuntukkan bagi orang Jawa, maka sesungguhnya wajah NKRI tercoreng dan kedaulatan rakyat dikhianati. Jika demikian, NKRI sesungguhnya sebuah kerajaan Jawa yang direkayasa dan dipaksakan di bawah satu slogan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kesembilan, rakyat Indonesia menjadi korban kapitalisme global karena melalui MoU (nota kesepakatan) Negara Indonesia telah menjual tanah dan kekayaan alamnya kepada negara kapitalis. Negara Indonesia hanya sibuk mengurus bingkai NKRI, sementara isi bingkainya tidak diurus, bahkan isi bingkainya dijual kepada para Investor asing (kapitalisme) dengan tujuan menghancurkan tanah dan menguras kekayaan yang terkandung dalam bingkai NKRI, dengan demikian kelangsungan hidup masyarakat setempat terancam, yang dalam kurung waktu tertentu akan berakibat pada pemusnahan etnis.
Kesepuluh, meningkatnya kejahatan Negara terhadap masyarakat pribumi. Kejahatan Negara itu dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yakni secara nyata dan juga terselubung. Kebanyakan kejahatan Negara dikemas rapi dalam pelbagai kebijakan, ini yang disebut kejahatan Negara terselubung. Dengan demikian, Negara tak mampu melindungi masyarakat, justru kaki tangan Negara melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil.
Kesebelas, Negara menciptakan ketidak-adilan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Kebijakan pembangunan Pemerintah Indonesia tidak memihak kepada masyarakat pribumi, misalnya di Tanah Papua; pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan bias pendatang; masyarakat pribumi Papua belum tersentuh dengan pelbagai kebijakan pembangunan yang digemborkan sejak OTSUS jilid I melalui UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Otonomi bagi Propinsi Iran Jaya sampai OTSUS jilid II melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Dan seterusnya.

Inilah beberapa faktor yang menurut saya terpicuhnya kebangkitan gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI. Negara Indonesia menghadapi pelbagai gerakan pembebasan dengan pelbagai manufer yang bertujuan untuk menjaga keutuhan NKRI. Atas nama negara, rakyat sipil yang tidak berdosa dibantai; menerapkan pelbagai kebijakan untuk membasmi masyarakat pribumi, sambil melahirkan pelbagi slogan untuk membangkitkan nasionalisme keindonesiaan.
Untuk menghidupkan semangat nasionalisme, para apparatus pejabat dan TNI serta POLRI melahirkan sebuah slogan: “Merdeka.....merdeka..... sekali merdeka tetap merdeka”. Slogan ini diindoktrinisasikan sedemikian rupa melalui pelbagai kesempatan, terlebih pada menjelang hari HUT kemerdekaan. Slogan ini diajarkan agar diucapkan oleh setiap warga Negara Indonesia. Ironisnya slogan ini hanyalah menjadi isapan jempol belaka karena semangat nasionalisme sendiri bisa timbul karena telah dibesarkan, dididik, bahkan telah diajar oleh Negara Indonesia mulai dari bangku Taman Kanak-Kanak (TK), namun seiring bertambahnya usia (dewasa), bertambah pula wawasan dan muncullah suatu kesadaran bahwa sebenarnya nasionalisme yang diajarkan melalui pendidikan dan pengajaran adalah sebuah nasionalisme kejawaan yang diindoktrinisasi menjadi nasionalisme keindonesiaan yang direkayasa melalui suatu proses pemanipulasian sejarah perjuangan masing-masing masyarakat pribumi yang ada di antara Sabang sampai Merauke.
Mungkin degungan semangat nasionalisme sangat pantas muncul pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, namun sesungguhnya nasionalisme keindonesiaan itu sudah, sedang dan akan luntur seiiring waktu berlalu. Slogan “NKRI harga mati” hanyalah slogan belaka. Buktinya Timor Leste pada tahun 1999 melepaskan diri dari NKRI. Dengan berpisahnya Timor Leste menandakan bahwa telah menodai Pancasila sesuai dengan sila ketiga yang mengatakan Persatuan Indonesia. Hal ini memang terjadi terdorong oleh beberapa faktor penyebab di atas.
Dengan pisahnya Timor Leste berarti Indonesia tidak bersatu, bahkan tidak akan utuh lagi. Negara Indonesia akan terpecah-pecah. Ini bukan rekayasa, ini bukan mimpi, tetapi pasti akan terjadi. Kita belajar dari pengalaman Unisoviet; ia negara yang super power, namun ternyata hancur juga.
Tentang kehancuran NKRI dipridiksikan oleh Djuyoto Suntani dalam bukunya yang berjudul: Tahun 2015 Indonesia “Pecah”. Dalam kesimpulan buku ini, ia mengakhiri dengan sebuah kalimat: “Sampai jumpa pada buku: “17 Negara Baru di Nusantara”.
Dengan demikian sampailah kita pada satu kesimpulan: “NKRI Bukan Segalanya” karena pada hakekatnya penentuan nasib sendiri tak dapat diganggu gugat oleh produk hukum manapun; yang juga dijamin oleh Pembukaan UUD 1945 alinea pertama; dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; dan Kovenan Internasional tentang Masyarakat Pribumi.

Minggu, 15 Agustus 2010

Papua Menggugat: New York Agreemet, 15 Agustus 1962


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengklaim bahwa Papua adalah Bagian final dari NKRI alias “NKRI harga Mati”. Sementara rakyat Papua mengatakan bahwa Papua bukan bagian dari NKRI alias “ Merdeka Harga Mati”. Jika Jakarta mengatakan Papua Barat bagian Final dari NKRI, maka harus menunjukan fakta – fakta ilmiah, fakta sejarah, politik, budaya, ekonomi, dan hukum internasional yang membenarkan klaim tersebut. Sebaliknya, rakyat Papua harus membuktikan pernyataannya bahwa Papua bukan bagian dari NKRI, “Merdeka Harga Mati” berdasarkan Fakta-fakta ilmiah tersebut.
Komitmen bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri berdasarkan fakta. Sejarah Papua adalah sejarah ragam cara penindasan yang diakibatkan oleh sistem penindasan yang diakibatkan oleh penjajahan New Kolonialis Indonesia dan penghisapan sumber-sumber ekonomi oleh Negara-negara kapitalis AS dan sekutunya. Untuk menyelamatkan bangunan NKRI di Papua, berbagai bentuk Operasi Militer Indonesia dilakukan, akibatnya 100 ribu orang Papua terbunuh menjelang PEPERA 1969, berbagai operasi militer masih dilakukan hingga saat ini yang terstruktur atau sistematis yang mengarah pada pemusnahan etnis.
Akar masalah Papua yang melahirkan buah–buah kejahatan kemanusiaan adalah PEPERA 1969, yang hasilnya dinyatakan cacat hukum dan cacat moral. Cacat hukum karena dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan Perjanjian New York Agreement, 15 Agustus 1962; dan cacat moral karena dalam proses pembuatannya tidak melibatkan orang Papua sebagai subyek yang disengketakan, karena dunia memandang Tanah Papua adalah tanah tak bertuan; jika bertuan mereka akan melibatkan dalam proses pembuatan New York Agreement; yang terjadi hanya melibatkan RI, Belanda, AS dan PBB.
New York Agreement yang lahir pada tanggal 15 Agustus 1962 adalah payung hukum untuk menyelesaikan sengketa Politik atas status Papua antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia. Dalam Perjanjian New York diatur tiga hal penting, pertama; penyerahaan kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah Belanda kepada UNTEA. Kedua. Penyerahaan kekuassaan dari UNTEA kepada Indonesia. Ketiga, Penentuan nasib Sendiri pada tahun 1969.
Pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri 1969 yang cacat hukum dan cacat moral itu sudah diketahui oleh Amerika dan sekutunya yang menjunjung tinggi penegakkan HAM, Hukum Internasional, Demokrasi. Negara-negara ini pula yang telah melahirkan PBB. Namun masalah Papua belum juga diselesaikan hingga saat ini, kalaupun populasi orang Papua menjadi minoritas di tanah sendiri dan malah sudah mengarah pada pemusnahan etnis (genocide).
Pelbagai perundingan yang dilakukan dalam rangka menangani status Papua, orang Papua tidak pernah dilibatkan, misalnya Perjanjian New York dilakukan secara sepihak, sementara orang Papua sebagai pemilik tanah yang disengketakan sama sekali tidak dlibatkan. Terbukti bahwa pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI ditempuh dengan cara tidak demokratis dan tidak sesesuai dengan mekanisme internasional. Tindakan ini dikategorikan ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mengarah pada pemusnahan etnis dan penghancuran tanah (hutan) Papua yang sudah dan sedang terjadi di Tanah Papua adalah merupakan akibat dari buah-buah kejahatan pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui mekanisme yang cacat hukum dan moral.
Demi menyelamatkan Tanah dan manusia Papua yang sedang menuju kehancuran, maka pada kesempatan ini, kami menyatakan bahwa:
1) Bangsa Papua dengan tegas Menolak dan Menggugat New York Agreement, 15 Agustus 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.
2) Segera meninjau kembali dan mencabut perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962, serta meninjau kembali PEPERA dan mencabut resolusi PBB 2504 karena cacat hukum dan moral.
3) Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera bertanggung jawab atas pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI yang mengakibatkan pemusnahan etnis dan penghancuran tanah (hutan) Papua.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan sesungguhnya, dan untuk diperhatikan serta dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait demi penyelamatan manusia dan tanah Papua yang sedang menuju kehancuran.

Sabtu, 07 Agustus 2010

SEGERA HENTIKAN KOPROMI POLITIK



Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah merupakan gula-gula politik Jakarta bersama kroni-kroninya untuk meredam aspirasi politik Papua Merdeka yang mengkristal diseantero Tanah Papua sampai menggema sampai manca negara. UU OTSUS Papua diterapkan di Tanah Papua bukan merupakan niat baik Jakarta untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua, bukan juga untuk membangun sumberdaya manusia Papua, akan tetapi melalui paket politik ini Negara Indonesia membunuh Sumber Daya Manusia Papua. Dan juga OTSUS diterapkan bukan untuk melestarikan tanah dan kekayaan alam Papua, akan tetapi menghancurkan tanah dan sumber daya alam Papua. Dengan demikian OTSUS diberikan bukan hanya meredam aspirasi orang Papua, tetapi ada tujuan terselubung yang sangat membahayakan orang Papua, yakni menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua, serta memusnahkan etnis bangsa Papua.

Para kroni-kroni Negara Indonesia yang adalah antek-antek Negara kapitalis di manca Negara memberikan dukungan atas paket politik Jakarta dengan menyalurkan dana OTSUS. Mengapa Negara-negara kapitalis ini mendukung OTSUS Papua dengan memberikan dana OTSUS? Jawabannya adalah Negara Kapitalisme memiliki kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Dana yang diberikan oleh para pendonor OTSUS, bukan karena niat baik mereka untuk membangun Tanah Papua, bukan karena peduli kemanusiaan, akan tetapi dibalik itu melalui dana yang diberikan membangun jembatan permanen bagi masuknya Investasi di Tanah Papua. Para kaum pemodal itu lihai. Dana OTSUS yang diberikan Negara pendonor tidak mengalami kerugian, karena mereka akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan masuknya Investasi di Tanah Papua.

Upaya berikutnya adalah Negara pendonor melalui para investor mendekati kepala Negara untuk membuka investasi baru di Tanah Papua dengan sebuah perjanjian yang menjanjikan. Tentu kepala Negara tidak menolak permintaan para Negara kapitalis ini karena mereka telah berjasa dalam memberikan dana OTSUS. Melalui sebuah perjanjian (MoU), tanah milik Masyarakat Adat dijual kepada Negara-negara Kapitalis. Disaat presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati menandatangani sebuah perjanjian kontrakan Investasi di Tanah Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua, maka pada saat yang sama pula tanah dan rakyatnya telah dijual dan diserahkan kepada Negara negara Kapitalis. Dengan demikian tanah dan kekayaan alam serta rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan serta diberdayakan, justru dengan sebuah tindakan perjanjian (MoU) melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan.

Disaat penandatangan MoU, pada saat yang sama pula presiden, atau mentri, atau gubernur, atau bupati telah mengkhianti sebuah konstitusi (UUD 1945). Ini berarti telah mengkhianati kedaulatan Negara Indonesia. Dengan demikian tindakan ini dikategorikan tindakan makar dalam konteks menjual tanah dan sumber daya alam, serta masa depan rakyatnya telah dijual kepada Negara kapitalis dan dengan demikian Negara Indonesia bukan Negara berdaulat, akan tetapi Negara boneka yang dapat dipermainkan oleh negara-negara kapitalis.

Jika demikian, slogan “NKRI” harga mati dapat dipertanyakan. Jika NKRI harga mati mengapa tanah dan kekayaan alam di Indonesia dijual kepada negara-negara kapitalis melalui investor asing? Rakyat Indonesia semestinya mengadili para pemimpin pemerintahan serta legislatif karena justru mereka inilah yang menjual tanah dan kakayaan alam di Indonesia dijual kepada negara kapitalis demi kepentingan perut para elit tertentu dan menguntungkan para investor asing dengan negara kapitalis. Seharusnya para elit inilah yang melakukan perong-rongan terhadap suatu kedaulatan rakyat dengan tindakan menjual tanah dan kekayaan alam yang terkandung dalam seluruh wilayah Indonesia yang kini menjadi konsesi Investor asing.

UU OTSUS Papua adalah suatu produk politik bagi kepentingan Jakarta dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI; dan disisi lain UU OTSUS Papua adalah suatu produk ekonomi bagi kepentingan para negara kapitalis. OTSUS Papua menjadi tembok penghalang bagi penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua karena OTSUS ini diback up oleh negara-negara kapitalisme global demi kepentingan ekonomi semata.

Negara Indonesia menghalkan pelbagai cara untuk mempertahankan Papua menjadi bagian dari NKRI. Setiap kesempatan jika petinggi negara Indonesia ke manca Negara, mereka selalu mengkompanyekan bahwa pemerintah Indonesia telah menyelesaikan pelbagai masalah Papua melalui OTSUS Papua; jika ada rakyat Papua protes atas kegagalan OTSUS, mereka berkompanye bahwa pemerintah Indonesia akan mengupayakan menjalankan UU OTSUS dengan serius. Ketika rakyat Papua meminta referendum, maka para elite Indonesia mengatakan bahwa OTSUS adalah solusi final bagi penyelesaian masalah Papua.

Memang para elit politik Indonesia ini lebih licik melebihi ular beludak. Ular beludak tidak memiliki kemampuan, ia hanya memiliki kelicikan dilidahnya dan kelincahan ditubuhya. Setiap aksi dari orang Papua, pemerintah Indonesia menyikapi dengan pelbagai kelicikan. Ketika OTSUS gagal, pemerintah katakan bukan OTSUS gagal, tetapi tidak berhasil. Tindakan ini menunjunkan suatu ketidak-mampuan untuk membangun sumber daya manusia orang Papua, menunjukkan ketidak-mampuan untuk membangun Tanah dan orang Papua.

Kegagalan OTSUS Papua sudah membuktikan bahwa kegagalan negara Indonesia untuk mengindonesiakan bangsa Papua. Kegagalan OTSUS Papua menunjukan ketidak-mampuan negara Indonesia untuk membangun Tanah dan orang Papua. Hal ini memang terjadi karena bangsa Papua bukan ras melayu, bangsa Papua bukan juga pendiri NKRI, akan tetapi bangsa Papua adalah ras negroid rumpun Melanesia yang tidak dapat dipisahkan dari kawasan negara-negara pasifik. Bangsa Papua juga memiliki sejarah peradabannya sendiri, sejarah perjuangannya sendiri. Pada tanggal 19 Desember 1961 barulah presiden Soekarno mengklaim bangsa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI. Dengan kelicikannya, negara Indonesia dibayang-bayangi oleh Amerika Serikat demi kepentigan ekonomi dan politik, bangsa Papua dianeksasikan ke dalam NKRI melalui suatu percaturan politik tingkat tinggi yang sangat tidak sesuai dengan mekanisme internasional.

OTSUS Papua adalah produk rekayasa negara kapitalis yang ditawarkan kepada negara Indonesia untuk diterapkan di Tanah Papua demi kepentingan ekonomi bagi negara-negara kapitalis, dan demi kepentingan politik bagi Negara Indonesia alias mempertahankan keutuhan NKRI. Negara-negara kapitalis di era OTSUS membuka investasi semakin banyak seiring dengan gagasan Barnabas Suebu yang adalah antek negara kapitalis, bersama para investor menguras dan menghancurkan tanah dan kekayaan alam Papua; sementara Negara Indonesia menjaga bingkai NKRI. Para elite birokrasi bersama TNI dan POLRI diback up BIN, BAKIN dan BAIS menjadi penjaga bingkai NKRI yang setia, sementara negara-negara kapitalis melalui para investor asing menghancurkan isi bingkai NKRI: baik tanah, kekayaan alam yang berdampak pada kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Para elit bersama TNI, POLRI menjaga tuan investor agar menguasai tanah dan kekayaan alam.

Apa yang didapat oleh masyarakat pemilik hak ulayat? Yang diterima dari akibat eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya adalah kehilangan tanah, dusun sagu, kayu bakar, rotan, dammar, hewan, binatang, air bersih dan lain sebagainya yang berdampak langsung pada terancamnya hak hidup bagi pemilik hak ulayat. Dengan demikian OTSUS Papua bukan bertujuan untuk melindungi dan melestarikan segala kekayaan alam dan tanah yang ada, namun membumihanguskan segala yang ada di Tanah Papua, termasuk pemilik hak ulayat (orang Papua) yang mendiami di atasnya.

Sudah terbukti bahwa paket politik UU OTSUS Papua bukan penyelesaian masalah Papua, akan tetapi OTSUS hanya menambah masalah baru dan ternyata OTSUS telah mengancam hak hidup orang Papua, maka dari awal tahun 2001 bangsa Papua telah menolak paket politik ini; namun negara Indonesia didukung para sekutunya menerapkan di tanah Papua; setelah empat tahun kemudian, melalui sidang III DAP yang berlangsung di Manokwari pada awal tahun 2005 menyatakan bahwa OTSUS gagal, maka pada tanggal 12 Agustus 2005 telah dikembalikan ke Jakarta melalui DPRP dalam kemasan peti mayat OTSUS. Namun, aksi pengembalian ini dimanfaatkan pemerintah Indonesia dengan mempercepat pembentukan MRP dan mempercepat penguatan propinsi IJB dengan sebuah payung hukum.

Kalaupun negara Indonesia mempertahakan OTSUS di tanah Papua, namun melalui Musyawarah MRP bersama orang asli Papua yang digelar antara tanggal 9 dan 10 Juni 2010 menyatakan bahwa OTSUS telah gagal total, maka harus dikembalikan ke Jakarta. Melalui musyawarah yang difasilitasi oleh MRP inilah melahirkan 11 (sebelas) rekomendasi. Sebelas rekomendasi ini telah ditetapkan oleh MRP melalui sebuah pleno MRP yang dihadiri oleh 45 anggota MRP pada tanggal 16 Juni 2010. MRP bersama orang asli Papua telah mengantar sebelas rekomendasi ke DPRP pada tanggal 18 Juni 2010 untuk ditindaklanjuti melalui sebuah mekanisme DPRP yakni Sidang Paripurna.

Puluhan ribu massa pendemo menduki taman Imbi, dan mendesak segera mengadakan sidang paripurna; aksi damai yang sama pula digelar dipelbagai tempat, baik dalam negeri dan luar negeri; namun para pimpinan DPRP tidak ada ditempat. Hanyalah beberapa anggota DPRP beserta seorang pimpinan (wakil ketua I-Yunus Wonda) menerima aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua. Pada kesempatan itu, pihak DPRP menawarkan tiga minggu untuk mempersiapkan diri untuk dibahas dalam mekanisme DPRP. Untuk itu terjadi penandatangan nota kesepakatan (MoU) antara DPRP dan MRP serta perwakilan massa aksi damai. Untuk menangih janji DPRP, pada tanggal 8 Juli 2010 puluhan ribuh massa aksi damai longmars dan menduduki di DPRP selama dua hari satu malam, namun kebanyakan anggota dan para pimpinan DPRP tidak ada ditempat.

Pada tanggal 9 Juli 2010 pihak kepolisian memblokade di Taman Imbi dengan peralatan senjata lengkap hendak membubarkan massa pada jam empat sore. Atas upaya keras dari beberapa tim loby berusaha menghadirkan wakil ketua III DPRP (Komarudin Watabun). Pada kesempatan itu Kamarudin didampingi beberapa anggota DPRP menyampaikan permohonan maaf dan diminta untuk ditunda dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Di bawah tekanan represi aparat POLRI, perwakilan massa aksi membacakan sebuah MoU yang berisi memberikan waktu bagi DPRP sampai pada tanggal 19 Juli 2010 untuk mengadakan sidang paripurna. Namun, MoU ini tidak sempat ditanda-tangani karena adanya represi aparat POLRI besiaga satu untuk membubarkan massa secara paksa. Kesempatan ini dimanfaatkan baik oleh DPRP dengan memberikan suatu janji bahwa pihak DPRP akan memanggil para perwakilan massa aksi damai pada tanggal 12 Juli 2010 untuk membicarakan langkah-langkah kongkrit yang akan ditempuh dalam memproses aspirasi yang disampaikan oleh MRP bersama orang asli Papua.

Janji Kamarudin Watubun memang ditepati. Hari Senin, tanggal 12 Juli 2010 para perwakilan pimpinan komponen bangsa Papua diundang oleh DPRP. Pada kesempatan itu, semua pimpinan DPRP berada ditempat dan ketua DPRP (John Ibo) memimpin pertemuan. Pertemuan ini, selain dihadiri oleh perwakilan komponen bangsa Papua, dihadiri juga oleh anggota DPRP. Dalam pertemuan ini ada anggota DPRP berargumentasi untuk melemahkan desakan komponen bangsa Papua. Terlihat bahwa ada beberapa anggota DPRP mendapat tekanan dari pimpinan partainya dan juga kepala Negara Indonesia, maka ada upaya untuk mengalihkan tuntutan komponen bangsa Papua. Pada akhirnya disepakti bersama bahwa pada tanggal 3 Agustus 2010 akan membentuk Tim Khusus untuk mempersiapkan suatu forum ilmiah untuk membedah OTSUS, di mana dalam forum itu semua pihak, baik organisasi pemerintahan dan non pemerintahan serta komponen bangsa Papua menyampaikan kajiannya yang diperkuat dengan indikator kegagalan atau keberhasilan OTSUS. Pimpinan DPRP (John Ibo) pada kesempatan itu mememerintahkan Komisi A DPRP untuk mengkoordinasikan pimpinan eksekutif, legislatif, komponen akademisi, LSM dan Agama serta organisasi kemasyarakatan di Tanah Papua agar pada tanggal 3 Agustus 2010 membentuk Tim Khusus.

Pada tanggal 2 Agustus 2010 pada malam hari beberapa pimpinan elemen gerakan dikagetkan dengan sebuah surat yang dilayangkan oleh DPRP kepada perwakilan komponen bangsa Papua yang berisi penundaan pertemuan yang direncanakan tanggal 3 Agustus 2010 ditunda lagi selama dua minggu. Jika dihitung, maka waktu yang diberikan oleh DPRP jatuh tempo pada tanggal 17 Agustus 2010. Kalaupun demikian, pada tanggal 3 Agustus 2010 perwakilan komponen bangsa Papua mendatangi DPRP menangih janjinya. Melalui loby yang memakan waktu berjam-jam, pada jam 15.00 WPB menggelar pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua dengan pihak DPRP. Kalaupun ketua DPRP (John Ibo) berada ditempat, namun Ketua dan Sekretaris Komisi A yang memimpin pertemuan dengan perwakilan komponen bangsa Papua. Dalam pertemuan itu, Ketua Komisi A DPRP bersama sekretarisnya menyampaikan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan oleh DPRP, maka janji DPRP pada tanggal 12 Juli 2010 tidak dipenuhi.

Pada kesempatan itu, beberapa perwakilan komponen bangsa Papua menyampaikan pandangannya, yang intinya harus ada mekanisme DPRP untuk memutuskan aspirasi yang telah disampaikan yakni melalui Sidang Paripurna. Namun apa yang terjadi? Pihak DPRP memaksakan bahwa DPRP bersama massa aksi damai akan mengantar sebelas rekomendasi ke Gubernur Papua untuk diteruskan ke Jakarta antara tanggal 20 s/d 25 Agustus 2010. Sikap DPRP ini telah menunjukkan bahwa ada upaya untuk tetap mempertahankan OTSUS yang gagal total dan lebih dari itu ada upaya terselubung untuk menghancurkan tanah, kekayaan dan orang Papua melalui pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di Tanah Papua, serta melemahkan semangat perjuangan bangsa Papua. Ini sebuah tindakan DPRP yang sangat tidak bermanusiawi dan memalukan.

Momentum pengembalian OTSUS jilid II melalui lembaga negara yakni MRP dan di antar ke DPRP adalah momentum terpenting untuk mengawal perjuangan bangsa Papua. Namun, aspirasi murni yang dikeluarkan dalam Musyawarah MRP bersama orang asli Papua itu terkandas di DPRP. Lembaga yang katanya penampung dan pejuang aspirasi rakyat Papua itu tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Lembaga DPRP bagai tong sampah yang menerima aspirasi dari masyarakat dan dibuang ke dalam tong sampah lembaga ini. Aspirasi yang disampaikan tidak diproses melalui mekanisme-mekanisme yang ada di DPRP, tetapi kebanyakan aspirasi, apalagi aspirasi yang berkaitan dengan menentukan nasib sendiri, para pekerja yang berkerja di tong sampah lembaga ini, aspirasi dari orang Papua dibuang dan dibakar.

Ironis memang. Anehnya adalah bahwa dilembaga tong sampah aspirasi ini kebanyakan para pekerja adalah putra daerah (asli) Papua. Namun, para pekerja tertentu yang bekerja dilembaga tong sampah aspirasi ini bekerja atas kemauan tuannya yang ada di Jakarta; mereka bekerja apa yang dikehendaki mandornya yang ada di Jakarta. Para pekerja murahan tertentu yang bekerja di lembaga tong sampah ini tidak memiliki hati nurani, tidak memiliki rasa kemanusiaan, tidak memiliki rasa senasib, tidak memiliki rasa solidaritas dengan para kaum jelata bangsa Papua yang menduduki di tong sampah sampai berhari-hari menantikan sebuah keputusan resmi dari pekerja lembaga tong sampah ini.

Harapan akan digelarnya Sidang Paripurna menjadi sirnah ketika para elite di seluruh Tanah Papua bekerja sama dengan para elite di Jakarta untuk melemahkan momentum yang sedang bergulir dengan pelbagai bentuk tindakan yang sangat memalukan. Hasil rekomendasi Musyawarah MRP bersama orang asli Papua berujung pada Revisi UU OTSUS dan melahirkan pelbagai perdasi-perdasus, serta Peraturan Pemerintah; tentu juga disertai dengan pembentukan MRP periode ke II dan diikuti pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten dan distrik di seluruh Tanah Papua.

Dalam rangka itu para elite Papua di seluruh Tanah Papua Barat pada tanggal 5 Agustus 2010 diundang oleh presiden SBY untuk melemahkan momentum pengembalian OTSUS dengan menggadaikannya dengan revisi UU OTSUS disertai perangkat hukum lainnya dan tentu kebijakan lain yang tidak memihak orang Papua disiapkan bersama dalam kesempatan ini juga. Para elite Papua ini menjadi boneka Jakarta dan juga menjadi pembunuh darah dingin secara tidak langsung terhadap orang asli Papua yang sedang menuju kepunahan etnis. Para elite politik Papua inilah yang sudah, sedang dan akan menjual tanah dan kekayaan alam Papua serta menghancurkan masa depan hidup orang asli Papua dengan tindakan mereka yang kompromi dengan OTSUS Papua yang sudah gagal total. Jika kedua Gubernur dan para bupati di tanah Papua serta DPR di tanah Papua serta MRP menerima pelbagai paket politik revisi OTSUS Papua dan kebijakan politik kotor lainnya, maka secara tidak langsung para elite Papua inilah yang menjual bangsa Papua ke negara neokolonial Indonesia dan sekutunya untuk dibumihanguskan melalui pelbagai pendekatan dan penerapan kebijakan yang tidak memajukan dan tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Upaya revisi UU OTSUS ini telah digembor-gemborkan oleh kaki tangan neo-kolonial Indonesia melalui pelbagai kesempatan, entah lewat diskusi, seminar, loka-karya dan dilansir melalui pelbagai media cetak dan elektronik. Ada dua lembaga perpanjangan pemerintah yang secara nyata-nyata tampil menjadi pahlawan untuk mempertahankan OTSUS di Papua adalah ICS dan Demokratik Centre. Melalui wadah-wadah ini diback up oleh wadah-wadah lain yang wajahnya tersembunyi telah mengadakan seminar sehari di Hotel Sentani Indah dengan menghadirkan perwakilan orang Papua sebanyak 70 orang dari pelbagai daerah Papua pada tanggal 21 Juli 2010. Tujuh puluh orang Papua yang tidak tahu menahu dengan tujuan terselubung digelarnya seminar itu, seolah-olah memberikan legitimasi terhadap OTSUS yang sudah gagal total dengan melahirkan sebuah draft PERDASI tentang pembentukan MRP periode II yang sudah dirancang dan disiapkan oleh perpanjangan pemerintah Indonesia di Tanah Papua.

Tindakan para elite politik di seluruh Papua ini sangat memalukan. Gelombang demonstrasi sudah dan sedang mewarnai Tanah Papua dan di luar Papua dalam rangka menolak dan mengembalikan paket politik Jakarta yang tidak mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua, namun pada saat yang bersamaan pula, para elite politik Papua ini telah membangun kompromi politik dengan Jakarta untuk menerapkan paket politik yang berikutnya.

Agar momentum pengembalian OTSUS ini melemah, maka lembaga DPR yang ada di Tanah Papua tidak melaksanakan tugasnya memproses dan membawa aspirasi MRP bersama orang asli Papua melalui mekanisme DPRP yang ada, misalnya BANMUS dan diputuskan dalam sidang paripurna. Ulur-ulur waktu yang dilakukan DPR di Tanah Papua adalah merupakan suatu tindakan kaki tangan musuh dalam upaya menggolkan setingan Jakarta untuk menawarkan dan menerapkan kebijakan yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi yang tujuannya melumpuhkan atau menghancurkan tanah dan orang Papua.

Jika inilah yang terjadi, maka justru para elite pilitik yang adalah orang Papua telah menjual seluruh angkasa raya Papua kepada negara neokolonial dan sekutunya hanya demi kepentingan politik dan ekonomi semata. Jika Revisi OTSUS dan perangkat hukum lainnya serta paket politik lainnya diterima oleh para elite politik orang Papua, maka sudah jelas bahwa mereka ini menjadi pengkhianat terhadap perjuangan luhur bangsa Papua dan dengan tindakan mereka telah melecehkan jati diri orang Papua.

Menyikapi dinamika politik yang sudah, sedang dan akan mengemuka di Tanah Papua, maka pada kesempatan ini kami menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
1) Segera menghentikan upaya kompromi politik dengan Indonesia yang sudah dan sedang diperjuangkan oleh elite politik di Tanah Papua.
2) Segera menghentikan upaya revisi UU OTSUS Papua dan penerapan kebijakan politik lain di seluruh Tanah Air Papua karena OTSUS sudah terbukti gagal total dan tak dapat diterapkan kembali lagi.
3) Segera menghentikan upaya politik devide et impera (politik adu domba) di antara orang Papua.
4) DPR Papua dan DPRD Papua Barat segera membawa sebelas rekomendasi melalui mekanisme yang ada dilembaga terhormat ini dan diputuskan melalui sidang paripurna dan selanjutnya diserahkan ke kedua Gubernur di Tanah Papua untuk dikembalikan paket politik OTSUS ke Jakarta dan para sekutunya.
5) Segera menghentikan semua Investasi di Tanah Papua sebelum masalah Papua dibahas dan dituntaskan melalui suatu mekanisme Internasional.
6) Diserukan kepada segenap rakyat semesta Papua bahwa:
a) Jangan tergiur dengan pelbagai tawaran murahan yang ditawarkan Negara Indonesia melalui tim sukses NKRI karena segala bentuk tawaran murahan Indonesia dengan tujuan menghancurkan tanah dan sumber daya alam serta memusnahkan orang asli Papua.
b) Jangan terpancing dengan pelbagai isu murahan yang memecah-belah persatuan kita, kita tetap bersatu, tetap solid dan berjuang bersama untuk menentukan masa depan bangsa Papua.
7. Diserukan kepada segenap komponen bangsa Papua segera melakukan konsolidasi total untuk melakukan perlawanan total melalui aksi-aksi damai terhadap pelbagai kebijakan politik kotor yang akan diterapkan di seluruh Tanah Papua Barat.
8. Diserukan kepada masyarakat Internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keadilan, kebenaran, demokrasi dan Hak Asasi Manusia terlebih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil langkah-langkah kongrit dalam rangka menyelesaikan sengketa atas Status Tanah Papua Barat sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dalam menegakkan kemanusiaan di planet bumi ini.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan sesungguhnya dan dikeluarkan untuk diperhatikan serta dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait demi menegakkan harkat dan martabat orang Papua sama seperti manusia lain di planet bumi ini.

Port Numbay: Sabtu, 7 Agustus 2010

“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

Kamis, 01 Juli 2010

DENGAN BERSATU PENDERITAAN TANAH-TANAH JAJAHAN AKAN BERAKHIR


Situasi politik Papua beberapa waktu belakangan ini sedang memanas, di akibatkan karena tuntutan –tuntutan yang muncul dari seluruh Bangsa Papua yang kini sudah bersatu dan bukan segelintir yang selalu dicap oleh NKRI. Bangsa Papua dari seluruh penjuruh tanah Papua selalu ditekan oleh NKRI dalam berbagai aspek walaupun pemekaran di tingkat Distrik hingga kabupaten diberikan untuk Bangsa Papua namun Otsus dalam inplementasinya hanya untuk memperluas daerah administrasi dan pertahanan yang melindungi aset-aset Sumber Daya Alam (SDA) demi kepentingan Politik, Bisnis dan kekuasaan yang melibatkan anak-anak asli Papua itu sendiri yang menjadi kepanjang tangan dari pemerintah NKRI dalam hal ini” Kepala Desa sampai dengan Gubernur, yang sudah melihat keadaan kehidupan masyarakat asli bangsa Papua dan malas tau dengan keadaan itu. Namun ditingkatan media mereka selalu memaparkan hasil karya mereka yang hanya bunyi di atas kertas saja. Saya pernah bertemu dengan salah seorang pilot helikopter copper belt pernah ia mengatan bahwa dari sejumlah pelayanan penerbangngan yang ia layani di seluruh pelosok di Indonesia yang paling membuat ia terkesan ialah ketika melayani penerbangan di Papua ia mengatakan bahwa tanah papua itu kaya namun sayang orang-orangnya sangat termiskin dan memang negara ini tidak mempunyai itikat baik kepada manusianya.

Memang benar bahwa persoalan demi persoalan yang pernah dilakukan oleh Negara-Negara lain kepada daerah jajahan memang senasib dengan bangsa papua ditanahnya sendiri misalnya BOUGENVILE yang pernah dijajah oleh PNG yang kemudian dikuras kekayaan alam oleh mitranya AUSTRALIA dengan perjanjian-perjanjian tertentu namun Rakyatnya bersatu dan melawan dengan keterbatasan yang ada pada mereka selamah delapan tahun demi menuju kebebasan jati diri. Apakah benar Papua juga mempunyai nasib yang sama dengan Negara sebangsa itu? Memang benar..! Papua ini diberikan oleh NKRI kepada INGGRIS dan AMERIKA hanya semata-mata kepentingan bisnis dalam arti Negara Indonesia telah menjual tanah Papua Kepada INGGRIS dan AMERIKA agar bebas melakukan apa saja sesuka mereka seperti tanbang minyak di Sorong, tambang emas tembaga di Tembaga Pura. Memang terbukti NKRI melindungi mitranya tersebut dengan pertahanan Negara ketika Bangsa Papua menuntut haknya.

Dengan penderitaan yang telah kita alami ini mari kita bersatu dari sekarang agar kita menetukan pilihan kita sendiri jangan menjadi penonton diatas penderitaan kita sendiri karena tidak ada orang lain yang akan mendengar suara kita tanpa kita bersatu dan melawan dengan tekad bahwa saya ingin bebas merdeka, akhir kata Tuhan senantiasa melindungi saya dan segenap Bangsa Papua di tanah leluhur ini. (Pigundoni)

Rabu, 19 Mei 2010

Otsus Menciptakan Orang Kaya Baru Di Institusi Pemerintah Dan Pejabat teras


Otonomi khusus bagi propinsi Papua itu untuk meredam situasi ketika orang Papua minta Merdeka, atau untuk mengadu domba orang Papua dan siapa yang nikmati hasil dari Otonomi Khusus itu? Ini masalah yang dibuat secara sistematis oleh pemerintah Republik Indonesia.

Untuk orang Papua Otonomi Khusus bukan solusi dari persoalan-persoalan yang selama ini terjadi dan Otonomi Khusus buat kami itu ibarat masalah dari tempat lain dibawah ketempat lain, coba kita pelajari Undang-Undang Otonomi Khusus itu sendiri sebagian dari peraturan perundangan Otsus di rancang sesuai dengan keadaan yang ada di pulau jawa dan sekitarnya.

Sedangkan rancangan Undang-Undang Otsus yang di rancang oleh dosen-dosen Universitas Cendrawasi Papua pada saat itu yang mana tidak ada satu yang benar misalnya PERDASI dan PERDASUS yang tidak jelas sampai saat ini dengan keadaan yang tidak jelas itupula ada campur tangan Pemerintah Republik Indonesia. Danah dari hasil OTSUS dipakai untuk meperluas daerah kekuasaan dan membiayai operasional TNI dan POLRI secara besar-besaran di tanah Papua dengan dalil untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuhan Republik Indonesia.

Dan masyarakat dibatasi dalam membicarakan hak-hak mereka bahkan mereka dteror dan diintimidasi bahkan nyawanyapun melayang diatas hak-hak mereka. Sedangkan pemerintah dan Negara hanya orientasinya hanya di tingkat Sumber Daya Alam (SDA) keamanan dan politik. Yang jadi pertanyaan saat ini adalah Otonomi Khusus dan Pemekaran di Papua untuk siapa?.

Karena buktinya saat ini Otsus telah gagal di Tanah Papua dan Pemekaran propinsi dan Kabupaten itu hanya menciptakan orang kaya baru yang gila-gilaan dipihak intitusi Pemerintah dan pejabat teras. (Pigundoni))

Sabtu, 15 Mei 2010

PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA: “Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”


Untuk menyikapi Pro dan Kontra Integrasi Papua yang sudah dan sedang mengemuka diantara sesama orang Papua, Eksekutif Nasional Front PEPERA Papua Barat menggelar konfrensi pers di bawah thema: PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA: “Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”. Konfrensi pers ini digelar di Pondopo Asrama Tunas Harapan, Jln Yakonde Padang Bulan-Abepura-Port Numbay – Papua; dimulai jam 13.30 s/d 14.00 WPB; yang diliput oleh pelbagai media massa cetak dan elektro.

Dalam kesempatan itu, Selpius Bobii selaku Ketua Umum Eknas Front PEPERA PB menyatakan bahwa Negara Indonesia sudah dan sedang mengadu domba antara orang Papua yang tujuannya untuk menciptakan konflik di Papua. Negara Indonesia menggunakan politik Defide et impre (pecah belah dan jajalah) yang dahulu diterapkan oleh Negara colonial belanda, sekarang sedang diterapkan di Papua oleh Negara Indonesia. Pelbagai manufer politik diluncurkan untuk mengandu-domba antara orang Papua. Orang papua kini dikotak-kotakkan, ada orang Papua yang memilih diam, ada orang Papua yang memilih pro integrasi, ada orang Papua yang tetap memperjuangan keadilan dan kebenaran, terlebih hak kedaualatan yang dirampas oleh Negara Indonesia melalui proses Pelaksanaan Pendepat Rakyat Papua yang menurut Prof. Drooglever menyimpulkan Cacat Hukum dan Moral.

Ketua Eksnas Front PEPERA PB lebih jauh menjelaskan bahwa seharusnya semua komponen bangsa Papua merapatkan barisan, tanpa adanya pro dan kontra untuk memperjuangkan hak kedaulatan yang dimainkan oleh Negara Indonesia dibawah bayang-bayang Amerika Serikat. Siapapun orang Papua pahami baik sejarah penganeksasian bangsa Papua ke dalam NKRI. Jangan karena ada kepentingan tertentu, maka berusaha mengkhianati perjuangan yang luhur yang dibangun dan diperjuangkan memakan dekade disertai korban materi, tenaga, waktu, bahkan banyak jutaan jiwa anak negeri Papua gugur dimeden perjuangan hanya untuk menperjuangan jati diri bangsa Papua yang telah dianeksasikan ke dalam NKRI.

Perpedaan pandangan adalah wajar di Negara yang menganut system demokrasi. “Kami menghargai perbedaan pandangan dari segelintir orang Papua yang mengatakan NKRI harga mati. Tapi pertanyaannya: Apakah pandangan dan pendapat mereka tentang Integrasi telah selesai itu dapat dipertanggung jawabkan secara rasional? Ironisnya adalah bahwa perjuangan segelintir orang Papua pendukung integrasi itu tak dapat meyakinkan masyarakat Internasional. Mengapa? Masyarakat Internasional telah mengetahui proses pengankensasian bangsa Papua. apapun upaya mereka tidak akan mendapat simpati. Tentu kelompok abu-abu menebarkan pesona mereka kepada Negara Indonesia untuk mencapai kepentingan tertentu, entah kepentingan ekonomi, jabatan (politik), atau kepentingan lain”; tegas Selpius.

Lebih jauh ketua Umum eknas Front PEPERA PB mengatakan bahwa kelompok abu-abu yang berasal dari Papua ini menjadi alat dari Indonesia untuk mengadu-domba antar orang Papua. taktik yang digunakan di mana terjadinya pertumbahan darah sebelum dan pasca referendum di Timor Leste pada tahun 1999, taktik itu juga sedang diupayakan oleh Indonesia di Tanah Papua. Untuk menghindari terjadinya konflik antara orang Papua, maka perlu dikedepankan membangun pendekatan dengan pelbagai komponen bangsa Papua, termasuk masyarakat pendatang yang mendiami di Tanah Papua. Kami akan melakukan belbagai upaya untuk mengeleminar terjadinya pro dan kontra yang berujung pada konflik internal orang Papua yang ujung-ujungnya mengorbankan rakyat jelata yang tak berdosa. Pendelakatan yang akan ditempuh antara lain: membangun diskusi, seminar, mimbar bebas, konfrensi pers, dan lain sebagainya.

Ketika ditanya wartawan, mengapa terjadi pro dan kontra antara orang Papua terhadap Integrasi Papua? Bobii mengatakan bahwa, pro dan kontra itu berawal dari “adanya kepentingan”. Komponen bangsa Papua yang mengatakan integrasi belum selesai itu sangat jelas bahwa proses penganeksasian bangsa Papua adalah cacai hukum dan moral, maka sejarah Papua harus ditempatkan sebagai alasan mendasar yang melahirkan pelanggaran HAM yang sedang menuju Genocide dan ketidak adilan dalam pembanguan, termasuk marginalisasi dan diskriminasi rasial. Orang Papua yang kontra Integrasi tahu dengan benar tentang kejahatan Negara Indonesia terhadap orang Papua. Kepentingan komponen bangsa Papua yang kontra Integrasi jelas bahwa harga diri orang Papua sebagai pemilih hak tanah, dan harga diri bangsa Papua harus ditegakkan di atas segala kepentingan, terlebih menyelamatkan etnis Papua yang sedang menuju genoce. Semenntara kepentingan pro Integrasi sejalan dengan kepentingan NKRI. Segelintir orang Papua yang pro Integrasi itu memperjuangkan kepentingannya musuh, yakni Indonesia. Mereka menjadi jembatan untuk mengadu domba antara orang Papua. Mereka distir oleh Negara untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia. Tentu kelompok ini didukung dengan pelbagai fasilitas yang memadai. Ironisnya Negara Indonesia tidak sadar bahwa sebenarnya kelompok abu-abu ini memanfaatkan isu integrasi untuk mendapatkan kepentingan tertentu, yakni sarana, ekonomi, atau jabatan tertentu. Pro Integrasi memperjuangkan kepentingan neo-kolonial, maka tentu perjalanan perjuangan dari kelompok ini ditopang oleh Negara.

Mengarakhiri konfrensi pers, Ketua Umum Eknas Front PEPERA Papua Barat mengatakan: “Semua perjuangan perlu kita hargai, entah mereka yang pro dan kontra Integrasi Papua. Tetapi saya mau katakana bahwa orang Papua yang pro Integrasi itu jangan menjadi pengkhinat karena mendapatkan sesuap nasi dari penjajah; karena apa pun upaya akan pasti gagal. Kebenaran tak dapat dikalahkan oleh pedang, bedil, moncong senjata, dan kekuatan lain; pada akhirnya kebenaran itu akan mengalahkan semua kemunafikan; kebenaran akhirnya akan menjadi pemenang; kebenaran yang memerdekakan, bukan kemunafikan yang memerdekakan”; tegasnya Selpius.

Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca press release di bawah ini.


EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)
Sekretariat: Dok V Port Numbay, Mobile Phone: 081248723807

SIARAN PERS
====================
Nomor: 03-SP/Ekns Front PEPERA PB/V/2010

“Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”

PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA:
“Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”

Politik “defide et impera” (pecah belah dan jajalah) adalah suatu motto politik yang dipakai Kolonial Belanda untuk menjajah Indonesia selama 3 ½ abad. Motto penjajah Belanda ini diwariskan juga oleh neo-kolonial Indonesia untuk menjajah bangsa-bangsa yang ada di Indonesia, lebih khusus motto ini diterapkan di Tanah Papua. Penjajah Belanda menggunakan metode perang fisik dan juga perang mental untuk memerangi masyarakat Indonesia untuk ditaklukkannya. Kini neo-kolonial Indonesia menggunakan metode perang dingin dan juga perang terselubung untuk menghancurkan bangsa Papua.
Wajah penjajah Belanda dan Indonesia memang bedah, tetapi bentuk penindasannya hampir sama. Pelbagai cara digunakan oleh Indonesia untuk menjajah bangsa Papua, antara lain: pertama, setelah menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI, Negara Indonesia menghancurkan budaya orang Papua. Ketika budaya dihancurkan, maka jati diri sebagai orang Papua terhilang; jika inilah yang terjadi, maka dasar pijakan terhilang, hancur dan kehilangan arah hidup; kedua, penguasaan tanah dan kekayaan alam Papua. Sejak bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI, Papua menjadi sasaran empuk Indonesia. Transmigrasi besar-besaran terjadi, penebangan hutan secara liar terjadi, perusahan-perusahan nasional dan multi nasional tumbuh bagai jamur untuk merebut dan merampas kekayaan alam Papua. Akibatnya, masyarakat setempat tersisih, kehilangan sumber penghidupan, kehilangan arah hidup, dan kehilangan dasar pijakan. Penerapan OTSUS yang tidak memihak orang asli Papua; pemekaran propinsi, kabupaten, distrik dan kampong adalah bagian dari politik pecah belah dan jajahlah. Ketiga, pembantaian secara langsung melalui operasi militer dan pembantaian secara terselubung terjadi di Papua. Dampak dari ketiga hal ini terjadilah pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan tetapi pasti; yang para aktor pembantai orang Papua adalah TNI dan POLRI yang adalah alat Negara.
Kebanyakan orang Papua, termasuk yang pro Integrasi sudah kehilangan jati diri sebagai orang Papua. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dikatakan, apa yang dilakukan bukan untuk mengangkat jati dirinya sebagai orang Papua rumpun Melanesia, akan tetapi tindakan dan cara mereka itu menghancurkan jati dirinya, menghancurkan tanah leluhurnya, menghancurkan masa depan anak-cucunya, dan menghancurkan identitas dirinya sebagai orang Papua.
Selain itu, ada orang Papua memilih jalan diam, ada pula yang menjadi pengkhianat dan bekerja sama dengan musuh (menjadi BIN, BAIS, BAKIN), ada pula yang bersembunyi dibalik system yang dibangun neo-kolonial Indonesia, ada juga yang secara terang-terangan pro Integrasi dengan mengatakan NKRI harga mati. Ada orang Papua memang tidak mengetahui sejarah bangsanya, ada yang memang memahami sejarah bangsa Papua, tetapi seolah-olah tidak tahu. Kelompok abu-abu ini dimanfaatkan oleh Negara Indonesia untuk menjadi jembatan untuk menciptakan konflik di tanah Papua. Sebaliknya, Negara Indonesia juga tidak sadar bahwa kelompok abu-abu ini sebenarnya memanfaatkan Indonesia untuk mendapatkan kesempatan tertentu demi mempertahankan hidupnya (ekonomi), atau demi mengejar jabatan tertentu (politik), atau kepentingan lain.
Negara Indonesia bersama kelompok abu-abu yang berasal dari Papua selama ini melakukan pelbagai manufer dalam upaya membengkokan sejarah bangsa Papua, namun upaya mereka tak akan pernah berhasil, karena tentang sejarah penganeksasian bangsa Papua ke dalam NKRI, di seantero planet bumi ini telah mengetahuinya. Anak-anak SD pun tentu menjawab jikalau bertanya pada mereka tentang sejarah pencaplokan bangsa Papua. Buku Sejarah Papua karya Ilmiah Prof. Dr. Drooglever yang diluncurkan dalam edisi bahasa Belanda di Hindia Belanda pada tanggal 15 November 2005 dan dalam edisi bahasa Inggris pada tanggal, 6 Pebruari 2010 di Oxford Inggris, di bawah Thema: “Keadilan dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Barat” telah membuka mata dunia. Dalam buku itu secara tegas menyatakan bahwa Pelaksanaan Pendapat Rakyat Papua yang diwakili 1025 orang yang digelar pada tahun 1969 adalah CACAT HUKUM dan MORAL.
Jika memang Papua ini resmi didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka tunjukkan kepada kami bangsa Papua: “nomor keputusan PBB tentang syahnya Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat dan syahnya Papua masuk ke dalam NKRI”; dan “tunjukkan juga kepada bangsa Papua sejak kapan bangsa Papua didaftarkan ke dalam lembaran Negara Indonesia, beserta nomornya”.
Camkanlah bahwa tak ada alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mempertahankan bangsa Papua menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara defakto dan de jure bangsa Papua tidak terdaftar secara resmi di PBB, bahkan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tidak ditetapkan secara resmi dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada tahun 1969, bahkan Integrasi Papua dan Pelaksanaan Pendapat Rakyat Papua ke dalam NKRI tidak terdaftar juga dalam lembaran Negara Indonesia.
Kalaupun Penentuan Pendapat Rakyat secara resmi ditetapkan dalam sidang Umum PBB, kalaupun bangsa Papua terdaftar dalam lembaran Negara Indonesia, bangsa Papua secara kodrati memiliki hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri. Camkanlah bahwa ketentuan penentuan nasib sendiri sudah dijamin oleh beberapa kovenan Internasional, salah satunya adalah Kovenanan Internasional tentang Hak-Hak Bangsa Pribumi. Dengan demikian, tak ada kekuatan manapun yang meredam aspirasi politik bangsa Papua untuk mengambil alih kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasikan ke dalam NKRI.

Menyikapi pro dan kontra Integrasi yang terjadi antara sesama orang Papua, kami menyatakan dan menyeruhkan bahwa:
1)Negara Indonesia segera menghentikan pelbagai manufer politik dalam upaya mengadu-domba antara orang Papua.
2)Orang Papua harus sadar bahwa dirinya adalah ras Melanesia yang berada di kawasan pasifik.
3)Siapa pun Orang Papua segera bersatu untuk menyelamatkan bangsa dan tanahnya dari bahaya kepunahan etnis dan penghancuran tanah serta kepunahan kekayaan alam Papua.
4)Orang Papua jangan terprovasi dengan pelbagai manufer politik Indonesia yang sedang mengadu-domba antara sesama orang Papua, atau isu lain yang hanya untuk menciptakan konflik di Tanah Papua.
5)Bangsa Papua sangat mendukung upaya IPWP & ILWP (Internasional Lawyer For West Papua) yang hendak menggugat Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang digelar pada tahun 1969 melalui Mahkamah Internasional.
6)Jalan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua, maka bangsa Papua mengajak Negara Indonesia untuk duduk bersama membicarakan pelbagai masalah Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang Indenpenden.
7)Masyarakat Internasional yang peduli dengan kemanusiaan, segera merapatkan barisan mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi dunia penegak dan pejuang Hak Asasi Manusia untuk segera mengintervensi kejahatan Negara Indonesia terhadap orang Papua yang sedang menuju pemusnahan etnis (genocide).

Demikian siaran pers ini kami sampaikan kepada publik; dengan harapan, dapat diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh semua pihak yang peduli kemanusiaan di mana pun Anda berada, demi menyelamatkan etnis bangsa Papua di atas segala kepentingan.

Port Numbay: Sabtu, 15 Mei 2010
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

SELPIUS BOBII
(Ketua Umum Eksekutif Nasional Front PEPERA PB)

Kamis, 13 Mei 2010

Proses Sejarah Yang Penuh Darah dan Bermasalah


Mengapa Bangsa Papua barat tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969, tetapi secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua Barat di dalam wilayah NKRI. Akar masalanya ialah sejarah diintegrasikannya Papua Barat kedalam NKRI yaitu dengan kekuatan militer.

Setelah integrasi terjadi, terjadi pula pelanggaran HAM yang sangat berat dengan cara pendekatan diskriminatif dan eksploitatif serta memarjinalkan atau meminggirkan rakyat Papua Barat. Semuanya itu akibat proses sejarah yang penuh darah dan bermasalah dengan tujuan untuk menguasai Bangsa Papua Barat.

Sejarah pelanggaran HAM, diskriminasi, dan marjinalisasi dalam pendekatan yang diskriminatif, eksploitatif yang di peraktekan oleh NKRI sejak 11 mei 1963 sampai hari ini tidak berhasil melumpukan pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat walaupun dalam realitanya ribuan Bangsa Papua Barat gugur di tangan aparat keamanan NKRI dengan stigma Separatis dan OPM secara membabi buta.

Namun pikiran dan hati nurani Bangsa Papua barat tetap suci dan mulia, tidak berhasil di kendalikan oleh NKRI dan apart keamanan yang mendukung kepentingan NKRI. Karena pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat di kendalikan oleh Yang Maha Kuasa yang di gerakan dengan penderitaan dan tetesan darah serta cucuran air mata dengan semangat dan kerinduan hati yang mulia.

Oleh karena itu dengan cara apapun NKRI tidak akan pernah mampu mendamaikan Bangsa Papua untuk hidup bersama di tanah ini sebab bangsa dan tanah ini di ciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan berkuasa atas tanahnya, Bangsanya sendiri bukan untuk di siksa, di perkosa dan dibunuh oleh Kolonial NKRI,dengan tujuan untuknya melumpukan pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat tetapi tidak pernah berhasil. (Pigundoni)

Rabu, 12 Mei 2010

Pengabaian Isu Pelanggaran HAM Selamah Masa Orde Baru



Operasi Militer di tanah Papua sejak tahun 1965 hingga 1998 tujuannya untuk mengakhiri gerakan OPM dan pada tahun 1980-an operasi dilakukan di Jayapura dengan tujuan memutuskan jaringan gerakan OPM dikota. Banyak penduduk sipil lokal yang menjadi korban kekerasan. Selanjutnya pada tahun 1998 tindakan kekerasan oleh TNI dan Polisi juga terjadi di daerah perkotaan karena tuntutan kemerdekaan.

Jumlah korban kekerasan yang di perkirakan terjadi sejak tahun 1963 hingga sekarang ini masih bervariasi antara 100 ribuh jiwa hingga 500 ribuh jiwa. Di luar negeri, misalnya lembaga riset di Universitas Yale Amerika Serikat dan di Universitas Sidney Australia, yang mengklaim bahwa kekerasan di Papua dapat di kategorikan sebagai genocida. Sayangnya sampai saat ini belum ada kajian tentang rangkaian kekerasan yang terjadi terhadap masyarakat sipil Papua dan Pemerintah Pusat maupun pemerintah provinsi Papua belum juga mau dan mampu menjawab persoalan Hak Asasi Manusia,khususnya dalam menyelesaikan masalah kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya.

Kenyataan tersebut disebut Impunitas, yaitu situasi ketidak mungkinan secara de jure dan de facto untuk membuat para pelaku pelanggaran HAM mempertanggung jawabkan baik dalam bentuk proses persidangan pidana, perdata, administasi, atau tindakan disipliner karena mereka tidak tunduk pada mekanisme penyelidikan yang bisa mendakwa mereka dan di hukum dengan penghukuman yang tepat serta meberikan reparasi bagi para korban dan jika di tempatkan dalam konteks kewajiban Negara, inpunitas berarti kegagalan Negara memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan pelangaran HAM, memperhatikan korban dan mencegah terulangnya kejahatan tersebut.

Sehingga persoalan Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua harus ada titik peneyelesaian antara orang Papua dengan Pemerintah pusat, tidak ada cara lain selain Dialog antara orang Papua dan Pemerintah Indonesia yang di fasilitasi oleh PBB. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Papua harus membuka diri dan mestinya mendukung tuntutan pelanggaran HAM yang sudah terjadi sejak lama hingga saat ini. (Pigundoni) www.sanironni blogspot

Selasa, 04 Mei 2010

Generasi Tua Era 40-an Pendiri Negara West Papua


Generasi Tua era 40-an pendiri Negara West Papua. Pada tanggal 15 April 1961, orang-orang papua terpilih dari Nieuw Guine Raad (Dewan Nieuw Guinea) menjadi anggota parlemen pertama orang Papua dan bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh. Pada tanggal 19 Oktober 1961, Nieuw Guinea Raad mengadakan kongres Nasional 1 Papua di Hollandia dan dari kongres tersebut berhasil menetapkan simbol-simbol bagi Negara Papua Barat yaitu:
- Lagu Kebangsaan: Hai tanah-Ku Papua
- Bendera nasional : Bintang Kejora
- Dan nama Negara: West Papua

Kongres juga memutuskan tanggal 1 Desember Tahun 1961 sebagai hari pengibaran bendera bintang kejora. Pemerintah kerajaan belanda juga menerbitkan Governmenstablad van Nederland Nieuw Guinea (Lembaran Negara) pada tahun 1961 Nomor: 68 Register 362 dan 366 tentang bendera dan Governmentstablad Nieuw Guinea Nomor 69 mengenai lagu kebangsaan.

Kemerdekaan Bangsa Papua Barat ini telah diakui oleh presiden Soekarno. Hal ini terbukti dengan slogan yang di ucapkannya dalam Trikora: Bubarkan Negara Papua Barat dan kemudian operasi militer dipimpin oleh mendiang Soeharto dan melaksanakan operasi militer yang kejam.

Dan inilah pengakuan dari dua Negara yang paling bertanggung jawab atas Intergrasi Papua barat ke NKRI yaitu:
1. Pada bulan juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota tim PBB, Ortiz sanz secara tertutup (rahasia), bahwa “95% orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (summary of jack w. Lydman’s report, july 18 1969.
2. Sementara itu Sudjarwo mengakui “Banyak orang Papua tidak setuju tinggal bersama dengan Indonesia.” (UNGA Official Records MM ex 1, paragraf 126).

Sembilan puluh limah persen orang Papua ingin berdiri sendiri sebagai satu bangsa yang merdeka di planet ini. Namun keinginan dan kerinduan itu di hancurkan dan dimenangkan oleh rekayasa PEPERA 1969 serta kebohongan militer Indonesia dan para pendatang serta dari faksi-faksi gereja pada saat itu (Katholik dan Protestan) datang bersama dengan 1025 orang yang tidak refresentatif yang diangkat dan didukung oleh Pemerintah dan TNI dengan dalil bahwa mereka adalah wakil dari setiap suku di Papua.

Akan tetapi kerinduan hati, cita-cita luhur serta harapan mulia untuk mengatur diri
sendiri selalu tertanam dalam jiwa dan raga yaitu dari janin bayi dalam kandungan mama Papua serta generasi penerusnya yang akan berjuang dan terus berjuang sampai keadilan itu datang dari Tuhan. (Pigundoni) www.sanironni blogspot

Cepat Atau Lambat Masa Keemasan Tanah-Tanah Jajahan Akan Berakhir


Waktu terus berjalan dan Dunia semakin berubah dan selalu berubah,. Ada banyak kesempatan bagi daerah-daerah yang terjajah, termasuk Bangsa dan Tanah Papua. Untuk berdiri sendiri dan berdaulat sebagai satu bangsa dan satu Negara dikutib dari pembukaan Undang-Undang 1945 yang mengatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segalah bangsa dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan ruang bagi penduduk pribumi untuk merdeka dari penjajahan dan dari diskriminasi agar hidup bebas di negerinya sendiri sebagai tuan dan raja.

Dan deklarasi HAM PBB tertanggal 13 November tahun 2007 Pasal 3 menyatakan bahwa, “Orang-orang penduduk asli (Pribumi) berhak untuk menentukan nasib mereka. Berdasarkan hak tersebut, mereka sepenuhnya bebas menentukan hak politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka”. Selanjutnya pasal 4 menegaskan, “Orang-orang penduduk asli dalam melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, memiliki hak otonomi atau pemerintahan sendiri dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan internal dan lokal mereka, juga cara-cara dan sarana-sarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonomi mereka”.

Zaman akan berubah dan terus berubah. Peta politik Indonesia yang sekarang ini adalah peta politik yang sedang dan terus berubah, bangsa yang tertindas sudah berabad-abad berada dalam penjajahan, akhirnya mampu menyerap kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan yang dulu hanya dimiliki bangsa kulit putih.

Cepat atau lambat masa keemasan tanah-tanah jajahan akan berakhir. Bagaimana pun bodonya kami (Bangsa Papua) kami akan tumbuh berkembang dan memiliki naluri untuk mempertahan kan hidup bangsa kami, negeri kami dan Negara kami Papua barat.(Pigundoni) www.sanironni blogspot

Sabtu, 01 Mei 2010

SK MRP No 14 saatnya memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua


Harkat dan martabat orang asli Papua berada dalam bayang-bayang kagelapan sejak bangsa Papua dicaplok dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harkat dan martabat orang asli Papua diinjak-injak oleh penguasa republik Indonesia. Hak-hak dasar orang asli Papua diabaikan, digadaikan, dialihkan dan dimainkan oleh penguasa Indonesia.

Orang asli Papua makin tersisih dan termarginalisasi dari tanah leluhurnya. Surat Keputusan MRP NOMOR 14 Tentang calon Bupati dan calon Wakil Bupati, Wali kota dan Wakil Wali kota adalah hak dasar orang asli Papua yang tidak boleh dirampas oleh kelompok Migran (NON PAPUA).

Surat Keputusan MRP NOMOR 14 Ini merupakan suatu keputusan hak dasar yang telah di rumuskan dan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus yang tidak melanggar Hak orang asli Papua yang hidup ditanah leluhurnya Papua tercintah.

Maka dengan tulisan ini saya mengajak semua orang Papua maupun Non Papua agar mendukung SK MRP NOMOR 14 Untuk di terapkan diseluruh tanah Papua agar orang asli Papua bisa jadi tuan dan pemimpin ditanahnya sendiri.

Dengan demikian maka saya mengajak agar orang Migran harus memahami keadaan dan kondisi tanah Papua saat ini besok dan selanjutnya biarlah orang Papua mengatur daerahnya sendiri demi masa depan anak cucu mereka.(Pigundoni)

Kamis, 29 April 2010

Pemerintah kabupaten Intan Jaya harus Mengakomodir putra-putri asal Kabupaten Intan Jaya dalam perekrutan Calon Praja IPDN


Pemerintah Kabupaten Intan Jaya (Bupati) harus mengambil langkah-langkah Positif dalam hal penerimaan calon Praja IPDN, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kami inginkan bersama yang di tegaskan oleh Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Moni di Jayapura Kemarin sore disela-sela rapat Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa.
Dalam penerimaan Institut Pemerintahan dalam Negri (IPDN)pemerintah harus merekrut putra-putri asal Kabupaten Intan Jaya dengan alasan karena ini merupakan penerimaan perdana untuk Kabupaten Intan Jaya sekaligus mencetak aset SDM untuk Kabupaten Intan Jaya kedepan.
Dalam penerimaan perdana ini pemerintah Kabupaten Intan Jaya harus melihat sesuai kondisi daerahnya, tidak ada Indikasi jatah, titipan, keluargais dan familiis akan tetapi harus dilihat dari keterwakilan distirik yang berada di Kabupaten Intan Jaya itupun yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang di tetapkan untuk menjadi calon Praja IPDN.
Hal ini ditegaskan oleh Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Moni Sekota jayapura dalam pertemuan ikatan kemarin sore (Kamis/28/2010) di sekretariat jalan buper waena no, 10. Karena berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah terjadi beberapa waktu lalu dalam tahun ini yang mana penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil sarat dengan kepentingan golongan dan pribadi sehingga terjadi protes dari masyarakat dan Mahasiswa asal kabupaten intan jaya yang tidak lolos seleksi dalam penerimaan CPNS.
Sehingga dalam perekrutan calon Praja IPDN Kabupaten Intan Jaya kami sangat mengharapkan kebijakan Bupati, Kami tidak mau dengar alasan-alasan yang dibuat buat dalam penerimaan CPNS itu terulang lagi .
Apabilah hal ini terulang maka akan terjadi sebuah konflik sosial yang di ciptakan oleh pemerintah daerah setempat untuk mengadu dombah masyarakat yang tidak tau apa-apa juga akan mengganggu roda pembangunan dikabupaten Intan Jaya yang kita cintai. (Pigundoni)

Senin, 08 Maret 2010

Tim Seleksi Anggota KPU Kabupaten Intan Jaya Harus orang Luar

Perekrutan dan pembentukan Tim seleksi anggota KPU Kabupaten Intan Jaya agar libatkan orang luar dari Kabupaten Paniai dan Intan Jaya karena banyak persaingan politik dari kabupaten Paniai dan Intan Jaya yang di duga akan diterapkan dalam perekrutan dan pembentukan tim seleksi serta pengangkatan calon anggota KPU yang akan di bentuk dalam waktu dekat.

Agar kita ketahui bahwa perekrutan tim seleksi dan pengangkatan calon anggota KPU selalu identik dengan kepentingan politik untuk kelompok tertentu maka untuk Kabupaten Intan Jaya harus betul-betul orang yang tidak mempunyai kepentingan sama sekali atau tidak terlibat dengan kandidat manapun.

Oleh karena itu” agar Pemerintah Kabupaten Intan Jaya melihat persoalan ini secara serius karena daerah baru seperti Intan Jaya tidak boleh ada masalah kepentingan orang perorangan atau kelompok tertentu karena dalam situasi tersebut diduga akan ada ajang pembalasan dalam situasi politik PILKADA dan lainnya.

Dan kemungkinan akan memperhambat pembangunan di Kabupaten Intan Jaya dan menciptakan konflik dalam persaingan politik seperti ini yang sudah terjadi di Kabupaten Paniai dan kemudian akan diterapkan oleh lawan politik dan korban politik di Kabupaten Intan Jaya, kalau sudah seperti ini sama saja BAWAH SAMPAH DARI TEMPAT LAIN BUANG DITEMPAT LAIN…. Maka Tim Seleksi Calon KPU Harus orang luar dari Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Paniai , Ini persoalan yang harus di antisipasi agar tidak terjadi di Kabupaten Intan Jaya. (PIGUNDONI) www.sanironniblogspot

Kamis, 04 Maret 2010

Sebelas Kursi DPRP Versi MK Solusi atau Problema


Beberapa tahun lalu Undang-Undang Otonomi Khusus di berlakukan di seluruh tanah Papua dengan tujuan agar orang Papua menjadi tuan diatas tanah kelahirannya sendiri namun kenyataannya Otsus yang diterapkan diseluruh tanah Papua telah gagal dan orang Papua hidup dalam ketidak pastian selamah ini karena campur tangan Pemerintah Republik Indonesia dari situasi Politik yang berkembang di tanah Papua dan masalah kesejateraan orang Papua di negerinya sendiri.

Pemerintah Republik Indonesia mesti ingat bahwa lahirnya Otonomi Khusus di tanah papua karena tuntutan dari orang Papua minta merdeka dan bisa mengurus dirinya sendiri dan Otonomi Khusus itu diberikan kepada orang papua hanya untuk meredam situasi politik Papua Merdeka dan Otonomi Khusus itu sendiri telah gagal.

Persoalan demi persoalan yang telah terjadi di tanah Papua hanya meninggalkan luka dihati orang Papua dan tidak pernah akan manyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dan yang akan terjadi karena tuntutan dari orang Papua kepada Pemerintah Republik Indonesia ibarat gatal di kaki garuk di kepala.

Sekarang bangsa Papua di kagetkan dengan persoalan jatah sebelas kursi yang mengatas namakan orang Papua yang mana dasar hokumnya tidak jelas namun keputusan Mahkama Konstitusi telah membingungkan orang Papua saat ini dan sekarang orang Papua bepikir bahwa sebelas kursi DPRP versi MK itu solusi atau problema.

Persoalan sebelas kursi itu adalah bukti iantervensi Pemerintah Pusat lewat lembaga hokum yang telah megeluarkan keputusannya itu dan berpihak kepada kaki tangan pemerintah Indonesia yaitu Ramses Ohee dan Nikolaus Youwe lewat Organisasi Pro merah Putih kok bapak Youwe itu adalah pejuang Papua Merdeka sekarang gila harta pemerinta Indonesia.

Kita harus sadar bahwa di Papua itu ada tiga kelompok besar yang menjalankan amanah Otonomi Khusus dan mempunyai dasar hokum yang kuat yaitu kelompok MRP dan lembaga adat yang ada Ditanah Papua. Kelompok pro merah putih yang di dukung oleh Pemerintah RI dan kelompok CALEG yang suaranya kala tipis sedangkan keputusan MK itu ibarat menu makan di warung tapi makannya belum di sediakan alias kewenangan ada di tanah Papua oleh karenah itu pemerintah Indonesia jangan adudomba orang Papua.(PIGUNDONI)

Karakter Pemimpin di Tanah Moni


Sifat pemimpin adalah orang yang berjiwa besar, menghargai rakyatnya dan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya serta pemimpin itu harus berani dalam mengambil keputusan. Juga pemimpin jangan orang yang mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok akan tetapi mengutamakan kepentingan umum dan siap bertanggung jawab untuk membawa perubahan di dalam masyarakat.

Pemimpin itu tipenya bukan orang yang banyak janji-janji melainkan bisa berbuat yang terbaik untuk masyarakat walaupun sedikit, yang terpenting ada perubahan di tengah masyarakat, oleh karena itu Masyarakat Kabupaten Intan Jaya di kemudian hari jangan memilih Karakter Pemimpin Di Tanah Moni yang banyak bicara dan janji akan tetapi memilih jiwa pemimpin yang mempunyai hati nurani dan bisa membangun dan tipe pemimpin yang mempunyai latar belakang sosial yang baik.

Agar bisa dapat memberikan yang terbaik kepada masyarakat dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahn yang tidak perlu terjadi dan yang sudah berlalu. Saudara sekalian harus ingat bahwa majuh mundurnya Kabupaten Intan Jaya ada ditangan pemimpin bukan di siapa-siapa dan pemimpin itu sendiri harus berasal dari daerah Intan Jaya.

Sebab yang lebih mengetahui kehidupan dan budaya ada ditangan orang asli/ atau anak adat yang berasal dari daerah Intan Jaya. Dan musti orang lain harus sadar siapa itu anak adat; anak adat adalah orang Moni yang turun temurun moyangnya datang dan menetap di daerah tersebut dan Intan Jaya Itu harus pemimpinnya anak asli Suku Moni sendiri.

Agar integritas dan jati diri Suku Moni tidak di pandang sebelah mata oleh orang lain dan kita musti ketahui bahwa jiwa pemimpin yang mengutamakan teori akan membawa kita pada kemunduran sebab ia akan terlenah dengan teorinya itu. (PIGUNDONI)

Masyarakat Kabupaten Intan Jaya Sedang Teradogma


Saat-saat ini masyarakat suku Moni berpendapat bahwa dengan adanya pemekaran Kabupaten Intan Jaya Di tanah Moni akan merubah nasib masyarakat yang ada di daerah tersebut dari sisi pendidikan, kesehatan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah Intan Jaya.

Dan di sisi lainnya PEMDA Intan Jaya berhasil membuka Tes CPNS perdana formasi 2009/2010 dan telah menyeleksi dan menetapkan 429 calon pegawai negeri sipil untuk kabupaten intan jaya untuk bekerja membangun Kabupten Intan Jaya yang kita cintai. Untuk itu saya mau ingatkan kepada PEMDA Intan Jaya agar bekerja proposional dan tidak mengulangi kesalahan yang telah terjadi.

Persoalan yang telah terjadi misalnya Danah Hiba yang tidak jelas pengunaanya hingga saat ini, alias tidak ada program di kabupaten intan jaya. Dan saudara sekalian kita harus tau juga bahwa di Intan Jaya saat ini pekerjaan yang ada seperti pembongkaran hutan untuk membuat jalan dan pelebaran lapangan terbang itu adalah proyek dari kabupaten induk Paniai bukan dari kabupaten intan jaya, sampai saat ini penggunaan danah tersebut tidak jelas.

Juga masalah perekrutan CPNS yang menurut janji-janji bupati bahwa ia sebagai anak Adat yang menghargai nilai-nilai adat akan mengakomodir putra-putri asal kabupaten intan jaya agar mengapdi di tanah kelahirannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi papua namun janjinya itu tinggal janji alias bohong.

Sekarang masyarakat intan jaya juga sedang teradogma dengan janji-janji dari SKPD yang akar-akarnya berujung pada kepentingan politik pilkada yang akan datang di kabupaten intan jaya sehingga masrakat di intan jaya juga sangat kebingungan sebab yang melakukan adalah anak-anak asli daerah Kabupaten Intan Jaya. (PIGUNDONI)