Rabu, 19 Mei 2010

Otsus Menciptakan Orang Kaya Baru Di Institusi Pemerintah Dan Pejabat teras


Otonomi khusus bagi propinsi Papua itu untuk meredam situasi ketika orang Papua minta Merdeka, atau untuk mengadu domba orang Papua dan siapa yang nikmati hasil dari Otonomi Khusus itu? Ini masalah yang dibuat secara sistematis oleh pemerintah Republik Indonesia.

Untuk orang Papua Otonomi Khusus bukan solusi dari persoalan-persoalan yang selama ini terjadi dan Otonomi Khusus buat kami itu ibarat masalah dari tempat lain dibawah ketempat lain, coba kita pelajari Undang-Undang Otonomi Khusus itu sendiri sebagian dari peraturan perundangan Otsus di rancang sesuai dengan keadaan yang ada di pulau jawa dan sekitarnya.

Sedangkan rancangan Undang-Undang Otsus yang di rancang oleh dosen-dosen Universitas Cendrawasi Papua pada saat itu yang mana tidak ada satu yang benar misalnya PERDASI dan PERDASUS yang tidak jelas sampai saat ini dengan keadaan yang tidak jelas itupula ada campur tangan Pemerintah Republik Indonesia. Danah dari hasil OTSUS dipakai untuk meperluas daerah kekuasaan dan membiayai operasional TNI dan POLRI secara besar-besaran di tanah Papua dengan dalil untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuhan Republik Indonesia.

Dan masyarakat dibatasi dalam membicarakan hak-hak mereka bahkan mereka dteror dan diintimidasi bahkan nyawanyapun melayang diatas hak-hak mereka. Sedangkan pemerintah dan Negara hanya orientasinya hanya di tingkat Sumber Daya Alam (SDA) keamanan dan politik. Yang jadi pertanyaan saat ini adalah Otonomi Khusus dan Pemekaran di Papua untuk siapa?.

Karena buktinya saat ini Otsus telah gagal di Tanah Papua dan Pemekaran propinsi dan Kabupaten itu hanya menciptakan orang kaya baru yang gila-gilaan dipihak intitusi Pemerintah dan pejabat teras. (Pigundoni))

Sabtu, 15 Mei 2010

PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA: “Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”


Untuk menyikapi Pro dan Kontra Integrasi Papua yang sudah dan sedang mengemuka diantara sesama orang Papua, Eksekutif Nasional Front PEPERA Papua Barat menggelar konfrensi pers di bawah thema: PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA: “Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”. Konfrensi pers ini digelar di Pondopo Asrama Tunas Harapan, Jln Yakonde Padang Bulan-Abepura-Port Numbay – Papua; dimulai jam 13.30 s/d 14.00 WPB; yang diliput oleh pelbagai media massa cetak dan elektro.

Dalam kesempatan itu, Selpius Bobii selaku Ketua Umum Eknas Front PEPERA PB menyatakan bahwa Negara Indonesia sudah dan sedang mengadu domba antara orang Papua yang tujuannya untuk menciptakan konflik di Papua. Negara Indonesia menggunakan politik Defide et impre (pecah belah dan jajalah) yang dahulu diterapkan oleh Negara colonial belanda, sekarang sedang diterapkan di Papua oleh Negara Indonesia. Pelbagai manufer politik diluncurkan untuk mengandu-domba antara orang Papua. Orang papua kini dikotak-kotakkan, ada orang Papua yang memilih diam, ada orang Papua yang memilih pro integrasi, ada orang Papua yang tetap memperjuangan keadilan dan kebenaran, terlebih hak kedaualatan yang dirampas oleh Negara Indonesia melalui proses Pelaksanaan Pendepat Rakyat Papua yang menurut Prof. Drooglever menyimpulkan Cacat Hukum dan Moral.

Ketua Eksnas Front PEPERA PB lebih jauh menjelaskan bahwa seharusnya semua komponen bangsa Papua merapatkan barisan, tanpa adanya pro dan kontra untuk memperjuangkan hak kedaulatan yang dimainkan oleh Negara Indonesia dibawah bayang-bayang Amerika Serikat. Siapapun orang Papua pahami baik sejarah penganeksasian bangsa Papua ke dalam NKRI. Jangan karena ada kepentingan tertentu, maka berusaha mengkhianati perjuangan yang luhur yang dibangun dan diperjuangkan memakan dekade disertai korban materi, tenaga, waktu, bahkan banyak jutaan jiwa anak negeri Papua gugur dimeden perjuangan hanya untuk menperjuangan jati diri bangsa Papua yang telah dianeksasikan ke dalam NKRI.

Perpedaan pandangan adalah wajar di Negara yang menganut system demokrasi. “Kami menghargai perbedaan pandangan dari segelintir orang Papua yang mengatakan NKRI harga mati. Tapi pertanyaannya: Apakah pandangan dan pendapat mereka tentang Integrasi telah selesai itu dapat dipertanggung jawabkan secara rasional? Ironisnya adalah bahwa perjuangan segelintir orang Papua pendukung integrasi itu tak dapat meyakinkan masyarakat Internasional. Mengapa? Masyarakat Internasional telah mengetahui proses pengankensasian bangsa Papua. apapun upaya mereka tidak akan mendapat simpati. Tentu kelompok abu-abu menebarkan pesona mereka kepada Negara Indonesia untuk mencapai kepentingan tertentu, entah kepentingan ekonomi, jabatan (politik), atau kepentingan lain”; tegas Selpius.

Lebih jauh ketua Umum eknas Front PEPERA PB mengatakan bahwa kelompok abu-abu yang berasal dari Papua ini menjadi alat dari Indonesia untuk mengadu-domba antar orang Papua. taktik yang digunakan di mana terjadinya pertumbahan darah sebelum dan pasca referendum di Timor Leste pada tahun 1999, taktik itu juga sedang diupayakan oleh Indonesia di Tanah Papua. Untuk menghindari terjadinya konflik antara orang Papua, maka perlu dikedepankan membangun pendekatan dengan pelbagai komponen bangsa Papua, termasuk masyarakat pendatang yang mendiami di Tanah Papua. Kami akan melakukan belbagai upaya untuk mengeleminar terjadinya pro dan kontra yang berujung pada konflik internal orang Papua yang ujung-ujungnya mengorbankan rakyat jelata yang tak berdosa. Pendelakatan yang akan ditempuh antara lain: membangun diskusi, seminar, mimbar bebas, konfrensi pers, dan lain sebagainya.

Ketika ditanya wartawan, mengapa terjadi pro dan kontra antara orang Papua terhadap Integrasi Papua? Bobii mengatakan bahwa, pro dan kontra itu berawal dari “adanya kepentingan”. Komponen bangsa Papua yang mengatakan integrasi belum selesai itu sangat jelas bahwa proses penganeksasian bangsa Papua adalah cacai hukum dan moral, maka sejarah Papua harus ditempatkan sebagai alasan mendasar yang melahirkan pelanggaran HAM yang sedang menuju Genocide dan ketidak adilan dalam pembanguan, termasuk marginalisasi dan diskriminasi rasial. Orang Papua yang kontra Integrasi tahu dengan benar tentang kejahatan Negara Indonesia terhadap orang Papua. Kepentingan komponen bangsa Papua yang kontra Integrasi jelas bahwa harga diri orang Papua sebagai pemilih hak tanah, dan harga diri bangsa Papua harus ditegakkan di atas segala kepentingan, terlebih menyelamatkan etnis Papua yang sedang menuju genoce. Semenntara kepentingan pro Integrasi sejalan dengan kepentingan NKRI. Segelintir orang Papua yang pro Integrasi itu memperjuangkan kepentingannya musuh, yakni Indonesia. Mereka menjadi jembatan untuk mengadu domba antara orang Papua. Mereka distir oleh Negara untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia. Tentu kelompok ini didukung dengan pelbagai fasilitas yang memadai. Ironisnya Negara Indonesia tidak sadar bahwa sebenarnya kelompok abu-abu ini memanfaatkan isu integrasi untuk mendapatkan kepentingan tertentu, yakni sarana, ekonomi, atau jabatan tertentu. Pro Integrasi memperjuangkan kepentingan neo-kolonial, maka tentu perjalanan perjuangan dari kelompok ini ditopang oleh Negara.

Mengarakhiri konfrensi pers, Ketua Umum Eknas Front PEPERA Papua Barat mengatakan: “Semua perjuangan perlu kita hargai, entah mereka yang pro dan kontra Integrasi Papua. Tetapi saya mau katakana bahwa orang Papua yang pro Integrasi itu jangan menjadi pengkhinat karena mendapatkan sesuap nasi dari penjajah; karena apa pun upaya akan pasti gagal. Kebenaran tak dapat dikalahkan oleh pedang, bedil, moncong senjata, dan kekuatan lain; pada akhirnya kebenaran itu akan mengalahkan semua kemunafikan; kebenaran akhirnya akan menjadi pemenang; kebenaran yang memerdekakan, bukan kemunafikan yang memerdekakan”; tegasnya Selpius.

Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca press release di bawah ini.


EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)
Sekretariat: Dok V Port Numbay, Mobile Phone: 081248723807

SIARAN PERS
====================
Nomor: 03-SP/Ekns Front PEPERA PB/V/2010

“Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”

PRO & KONTRA INTEGRASI ANTARA SESAMA ORANG PAPUA:
“Suatu Upaya Neo-kolonial Indonesia Untuk Menciptakan Konflik di Tanah Papua”

Politik “defide et impera” (pecah belah dan jajalah) adalah suatu motto politik yang dipakai Kolonial Belanda untuk menjajah Indonesia selama 3 ½ abad. Motto penjajah Belanda ini diwariskan juga oleh neo-kolonial Indonesia untuk menjajah bangsa-bangsa yang ada di Indonesia, lebih khusus motto ini diterapkan di Tanah Papua. Penjajah Belanda menggunakan metode perang fisik dan juga perang mental untuk memerangi masyarakat Indonesia untuk ditaklukkannya. Kini neo-kolonial Indonesia menggunakan metode perang dingin dan juga perang terselubung untuk menghancurkan bangsa Papua.
Wajah penjajah Belanda dan Indonesia memang bedah, tetapi bentuk penindasannya hampir sama. Pelbagai cara digunakan oleh Indonesia untuk menjajah bangsa Papua, antara lain: pertama, setelah menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI, Negara Indonesia menghancurkan budaya orang Papua. Ketika budaya dihancurkan, maka jati diri sebagai orang Papua terhilang; jika inilah yang terjadi, maka dasar pijakan terhilang, hancur dan kehilangan arah hidup; kedua, penguasaan tanah dan kekayaan alam Papua. Sejak bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI, Papua menjadi sasaran empuk Indonesia. Transmigrasi besar-besaran terjadi, penebangan hutan secara liar terjadi, perusahan-perusahan nasional dan multi nasional tumbuh bagai jamur untuk merebut dan merampas kekayaan alam Papua. Akibatnya, masyarakat setempat tersisih, kehilangan sumber penghidupan, kehilangan arah hidup, dan kehilangan dasar pijakan. Penerapan OTSUS yang tidak memihak orang asli Papua; pemekaran propinsi, kabupaten, distrik dan kampong adalah bagian dari politik pecah belah dan jajahlah. Ketiga, pembantaian secara langsung melalui operasi militer dan pembantaian secara terselubung terjadi di Papua. Dampak dari ketiga hal ini terjadilah pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan tetapi pasti; yang para aktor pembantai orang Papua adalah TNI dan POLRI yang adalah alat Negara.
Kebanyakan orang Papua, termasuk yang pro Integrasi sudah kehilangan jati diri sebagai orang Papua. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dikatakan, apa yang dilakukan bukan untuk mengangkat jati dirinya sebagai orang Papua rumpun Melanesia, akan tetapi tindakan dan cara mereka itu menghancurkan jati dirinya, menghancurkan tanah leluhurnya, menghancurkan masa depan anak-cucunya, dan menghancurkan identitas dirinya sebagai orang Papua.
Selain itu, ada orang Papua memilih jalan diam, ada pula yang menjadi pengkhianat dan bekerja sama dengan musuh (menjadi BIN, BAIS, BAKIN), ada pula yang bersembunyi dibalik system yang dibangun neo-kolonial Indonesia, ada juga yang secara terang-terangan pro Integrasi dengan mengatakan NKRI harga mati. Ada orang Papua memang tidak mengetahui sejarah bangsanya, ada yang memang memahami sejarah bangsa Papua, tetapi seolah-olah tidak tahu. Kelompok abu-abu ini dimanfaatkan oleh Negara Indonesia untuk menjadi jembatan untuk menciptakan konflik di tanah Papua. Sebaliknya, Negara Indonesia juga tidak sadar bahwa kelompok abu-abu ini sebenarnya memanfaatkan Indonesia untuk mendapatkan kesempatan tertentu demi mempertahankan hidupnya (ekonomi), atau demi mengejar jabatan tertentu (politik), atau kepentingan lain.
Negara Indonesia bersama kelompok abu-abu yang berasal dari Papua selama ini melakukan pelbagai manufer dalam upaya membengkokan sejarah bangsa Papua, namun upaya mereka tak akan pernah berhasil, karena tentang sejarah penganeksasian bangsa Papua ke dalam NKRI, di seantero planet bumi ini telah mengetahuinya. Anak-anak SD pun tentu menjawab jikalau bertanya pada mereka tentang sejarah pencaplokan bangsa Papua. Buku Sejarah Papua karya Ilmiah Prof. Dr. Drooglever yang diluncurkan dalam edisi bahasa Belanda di Hindia Belanda pada tanggal 15 November 2005 dan dalam edisi bahasa Inggris pada tanggal, 6 Pebruari 2010 di Oxford Inggris, di bawah Thema: “Keadilan dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Barat” telah membuka mata dunia. Dalam buku itu secara tegas menyatakan bahwa Pelaksanaan Pendapat Rakyat Papua yang diwakili 1025 orang yang digelar pada tahun 1969 adalah CACAT HUKUM dan MORAL.
Jika memang Papua ini resmi didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka tunjukkan kepada kami bangsa Papua: “nomor keputusan PBB tentang syahnya Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat dan syahnya Papua masuk ke dalam NKRI”; dan “tunjukkan juga kepada bangsa Papua sejak kapan bangsa Papua didaftarkan ke dalam lembaran Negara Indonesia, beserta nomornya”.
Camkanlah bahwa tak ada alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mempertahankan bangsa Papua menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara defakto dan de jure bangsa Papua tidak terdaftar secara resmi di PBB, bahkan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tidak ditetapkan secara resmi dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada tahun 1969, bahkan Integrasi Papua dan Pelaksanaan Pendapat Rakyat Papua ke dalam NKRI tidak terdaftar juga dalam lembaran Negara Indonesia.
Kalaupun Penentuan Pendapat Rakyat secara resmi ditetapkan dalam sidang Umum PBB, kalaupun bangsa Papua terdaftar dalam lembaran Negara Indonesia, bangsa Papua secara kodrati memiliki hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri. Camkanlah bahwa ketentuan penentuan nasib sendiri sudah dijamin oleh beberapa kovenan Internasional, salah satunya adalah Kovenanan Internasional tentang Hak-Hak Bangsa Pribumi. Dengan demikian, tak ada kekuatan manapun yang meredam aspirasi politik bangsa Papua untuk mengambil alih kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasikan ke dalam NKRI.

Menyikapi pro dan kontra Integrasi yang terjadi antara sesama orang Papua, kami menyatakan dan menyeruhkan bahwa:
1)Negara Indonesia segera menghentikan pelbagai manufer politik dalam upaya mengadu-domba antara orang Papua.
2)Orang Papua harus sadar bahwa dirinya adalah ras Melanesia yang berada di kawasan pasifik.
3)Siapa pun Orang Papua segera bersatu untuk menyelamatkan bangsa dan tanahnya dari bahaya kepunahan etnis dan penghancuran tanah serta kepunahan kekayaan alam Papua.
4)Orang Papua jangan terprovasi dengan pelbagai manufer politik Indonesia yang sedang mengadu-domba antara sesama orang Papua, atau isu lain yang hanya untuk menciptakan konflik di Tanah Papua.
5)Bangsa Papua sangat mendukung upaya IPWP & ILWP (Internasional Lawyer For West Papua) yang hendak menggugat Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang digelar pada tahun 1969 melalui Mahkamah Internasional.
6)Jalan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua, maka bangsa Papua mengajak Negara Indonesia untuk duduk bersama membicarakan pelbagai masalah Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang Indenpenden.
7)Masyarakat Internasional yang peduli dengan kemanusiaan, segera merapatkan barisan mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi dunia penegak dan pejuang Hak Asasi Manusia untuk segera mengintervensi kejahatan Negara Indonesia terhadap orang Papua yang sedang menuju pemusnahan etnis (genocide).

Demikian siaran pers ini kami sampaikan kepada publik; dengan harapan, dapat diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh semua pihak yang peduli kemanusiaan di mana pun Anda berada, demi menyelamatkan etnis bangsa Papua di atas segala kepentingan.

Port Numbay: Sabtu, 15 Mei 2010
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

SELPIUS BOBII
(Ketua Umum Eksekutif Nasional Front PEPERA PB)

Kamis, 13 Mei 2010

Proses Sejarah Yang Penuh Darah dan Bermasalah


Mengapa Bangsa Papua barat tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969, tetapi secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua Barat di dalam wilayah NKRI. Akar masalanya ialah sejarah diintegrasikannya Papua Barat kedalam NKRI yaitu dengan kekuatan militer.

Setelah integrasi terjadi, terjadi pula pelanggaran HAM yang sangat berat dengan cara pendekatan diskriminatif dan eksploitatif serta memarjinalkan atau meminggirkan rakyat Papua Barat. Semuanya itu akibat proses sejarah yang penuh darah dan bermasalah dengan tujuan untuk menguasai Bangsa Papua Barat.

Sejarah pelanggaran HAM, diskriminasi, dan marjinalisasi dalam pendekatan yang diskriminatif, eksploitatif yang di peraktekan oleh NKRI sejak 11 mei 1963 sampai hari ini tidak berhasil melumpukan pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat walaupun dalam realitanya ribuan Bangsa Papua Barat gugur di tangan aparat keamanan NKRI dengan stigma Separatis dan OPM secara membabi buta.

Namun pikiran dan hati nurani Bangsa Papua barat tetap suci dan mulia, tidak berhasil di kendalikan oleh NKRI dan apart keamanan yang mendukung kepentingan NKRI. Karena pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat di kendalikan oleh Yang Maha Kuasa yang di gerakan dengan penderitaan dan tetesan darah serta cucuran air mata dengan semangat dan kerinduan hati yang mulia.

Oleh karena itu dengan cara apapun NKRI tidak akan pernah mampu mendamaikan Bangsa Papua untuk hidup bersama di tanah ini sebab bangsa dan tanah ini di ciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan berkuasa atas tanahnya, Bangsanya sendiri bukan untuk di siksa, di perkosa dan dibunuh oleh Kolonial NKRI,dengan tujuan untuknya melumpukan pikiran dan hati nurani Bangsa Papua Barat tetapi tidak pernah berhasil. (Pigundoni)

Rabu, 12 Mei 2010

Pengabaian Isu Pelanggaran HAM Selamah Masa Orde Baru



Operasi Militer di tanah Papua sejak tahun 1965 hingga 1998 tujuannya untuk mengakhiri gerakan OPM dan pada tahun 1980-an operasi dilakukan di Jayapura dengan tujuan memutuskan jaringan gerakan OPM dikota. Banyak penduduk sipil lokal yang menjadi korban kekerasan. Selanjutnya pada tahun 1998 tindakan kekerasan oleh TNI dan Polisi juga terjadi di daerah perkotaan karena tuntutan kemerdekaan.

Jumlah korban kekerasan yang di perkirakan terjadi sejak tahun 1963 hingga sekarang ini masih bervariasi antara 100 ribuh jiwa hingga 500 ribuh jiwa. Di luar negeri, misalnya lembaga riset di Universitas Yale Amerika Serikat dan di Universitas Sidney Australia, yang mengklaim bahwa kekerasan di Papua dapat di kategorikan sebagai genocida. Sayangnya sampai saat ini belum ada kajian tentang rangkaian kekerasan yang terjadi terhadap masyarakat sipil Papua dan Pemerintah Pusat maupun pemerintah provinsi Papua belum juga mau dan mampu menjawab persoalan Hak Asasi Manusia,khususnya dalam menyelesaikan masalah kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya.

Kenyataan tersebut disebut Impunitas, yaitu situasi ketidak mungkinan secara de jure dan de facto untuk membuat para pelaku pelanggaran HAM mempertanggung jawabkan baik dalam bentuk proses persidangan pidana, perdata, administasi, atau tindakan disipliner karena mereka tidak tunduk pada mekanisme penyelidikan yang bisa mendakwa mereka dan di hukum dengan penghukuman yang tepat serta meberikan reparasi bagi para korban dan jika di tempatkan dalam konteks kewajiban Negara, inpunitas berarti kegagalan Negara memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan pelangaran HAM, memperhatikan korban dan mencegah terulangnya kejahatan tersebut.

Sehingga persoalan Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua harus ada titik peneyelesaian antara orang Papua dengan Pemerintah pusat, tidak ada cara lain selain Dialog antara orang Papua dan Pemerintah Indonesia yang di fasilitasi oleh PBB. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Papua harus membuka diri dan mestinya mendukung tuntutan pelanggaran HAM yang sudah terjadi sejak lama hingga saat ini. (Pigundoni) www.sanironni blogspot

Selasa, 04 Mei 2010

Generasi Tua Era 40-an Pendiri Negara West Papua


Generasi Tua era 40-an pendiri Negara West Papua. Pada tanggal 15 April 1961, orang-orang papua terpilih dari Nieuw Guine Raad (Dewan Nieuw Guinea) menjadi anggota parlemen pertama orang Papua dan bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh. Pada tanggal 19 Oktober 1961, Nieuw Guinea Raad mengadakan kongres Nasional 1 Papua di Hollandia dan dari kongres tersebut berhasil menetapkan simbol-simbol bagi Negara Papua Barat yaitu:
- Lagu Kebangsaan: Hai tanah-Ku Papua
- Bendera nasional : Bintang Kejora
- Dan nama Negara: West Papua

Kongres juga memutuskan tanggal 1 Desember Tahun 1961 sebagai hari pengibaran bendera bintang kejora. Pemerintah kerajaan belanda juga menerbitkan Governmenstablad van Nederland Nieuw Guinea (Lembaran Negara) pada tahun 1961 Nomor: 68 Register 362 dan 366 tentang bendera dan Governmentstablad Nieuw Guinea Nomor 69 mengenai lagu kebangsaan.

Kemerdekaan Bangsa Papua Barat ini telah diakui oleh presiden Soekarno. Hal ini terbukti dengan slogan yang di ucapkannya dalam Trikora: Bubarkan Negara Papua Barat dan kemudian operasi militer dipimpin oleh mendiang Soeharto dan melaksanakan operasi militer yang kejam.

Dan inilah pengakuan dari dua Negara yang paling bertanggung jawab atas Intergrasi Papua barat ke NKRI yaitu:
1. Pada bulan juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota tim PBB, Ortiz sanz secara tertutup (rahasia), bahwa “95% orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (summary of jack w. Lydman’s report, july 18 1969.
2. Sementara itu Sudjarwo mengakui “Banyak orang Papua tidak setuju tinggal bersama dengan Indonesia.” (UNGA Official Records MM ex 1, paragraf 126).

Sembilan puluh limah persen orang Papua ingin berdiri sendiri sebagai satu bangsa yang merdeka di planet ini. Namun keinginan dan kerinduan itu di hancurkan dan dimenangkan oleh rekayasa PEPERA 1969 serta kebohongan militer Indonesia dan para pendatang serta dari faksi-faksi gereja pada saat itu (Katholik dan Protestan) datang bersama dengan 1025 orang yang tidak refresentatif yang diangkat dan didukung oleh Pemerintah dan TNI dengan dalil bahwa mereka adalah wakil dari setiap suku di Papua.

Akan tetapi kerinduan hati, cita-cita luhur serta harapan mulia untuk mengatur diri
sendiri selalu tertanam dalam jiwa dan raga yaitu dari janin bayi dalam kandungan mama Papua serta generasi penerusnya yang akan berjuang dan terus berjuang sampai keadilan itu datang dari Tuhan. (Pigundoni) www.sanironni blogspot

Cepat Atau Lambat Masa Keemasan Tanah-Tanah Jajahan Akan Berakhir


Waktu terus berjalan dan Dunia semakin berubah dan selalu berubah,. Ada banyak kesempatan bagi daerah-daerah yang terjajah, termasuk Bangsa dan Tanah Papua. Untuk berdiri sendiri dan berdaulat sebagai satu bangsa dan satu Negara dikutib dari pembukaan Undang-Undang 1945 yang mengatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segalah bangsa dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan ruang bagi penduduk pribumi untuk merdeka dari penjajahan dan dari diskriminasi agar hidup bebas di negerinya sendiri sebagai tuan dan raja.

Dan deklarasi HAM PBB tertanggal 13 November tahun 2007 Pasal 3 menyatakan bahwa, “Orang-orang penduduk asli (Pribumi) berhak untuk menentukan nasib mereka. Berdasarkan hak tersebut, mereka sepenuhnya bebas menentukan hak politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka”. Selanjutnya pasal 4 menegaskan, “Orang-orang penduduk asli dalam melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, memiliki hak otonomi atau pemerintahan sendiri dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan internal dan lokal mereka, juga cara-cara dan sarana-sarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonomi mereka”.

Zaman akan berubah dan terus berubah. Peta politik Indonesia yang sekarang ini adalah peta politik yang sedang dan terus berubah, bangsa yang tertindas sudah berabad-abad berada dalam penjajahan, akhirnya mampu menyerap kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan yang dulu hanya dimiliki bangsa kulit putih.

Cepat atau lambat masa keemasan tanah-tanah jajahan akan berakhir. Bagaimana pun bodonya kami (Bangsa Papua) kami akan tumbuh berkembang dan memiliki naluri untuk mempertahan kan hidup bangsa kami, negeri kami dan Negara kami Papua barat.(Pigundoni) www.sanironni blogspot

Sabtu, 01 Mei 2010

SK MRP No 14 saatnya memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua


Harkat dan martabat orang asli Papua berada dalam bayang-bayang kagelapan sejak bangsa Papua dicaplok dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harkat dan martabat orang asli Papua diinjak-injak oleh penguasa republik Indonesia. Hak-hak dasar orang asli Papua diabaikan, digadaikan, dialihkan dan dimainkan oleh penguasa Indonesia.

Orang asli Papua makin tersisih dan termarginalisasi dari tanah leluhurnya. Surat Keputusan MRP NOMOR 14 Tentang calon Bupati dan calon Wakil Bupati, Wali kota dan Wakil Wali kota adalah hak dasar orang asli Papua yang tidak boleh dirampas oleh kelompok Migran (NON PAPUA).

Surat Keputusan MRP NOMOR 14 Ini merupakan suatu keputusan hak dasar yang telah di rumuskan dan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus yang tidak melanggar Hak orang asli Papua yang hidup ditanah leluhurnya Papua tercintah.

Maka dengan tulisan ini saya mengajak semua orang Papua maupun Non Papua agar mendukung SK MRP NOMOR 14 Untuk di terapkan diseluruh tanah Papua agar orang asli Papua bisa jadi tuan dan pemimpin ditanahnya sendiri.

Dengan demikian maka saya mengajak agar orang Migran harus memahami keadaan dan kondisi tanah Papua saat ini besok dan selanjutnya biarlah orang Papua mengatur daerahnya sendiri demi masa depan anak cucu mereka.(Pigundoni)