Senin, 21 Desember 2009

Otsus Gagal di Papua


Enam tahun perjuangan Jakarta menerapkan UU. No. 21/2001 nyatanya tak mampu merubah nasib Bangsa Papua Barat kearah yang lebih baik. Keadilan politik ekonomi dan sosial budaya jaminan bagi kedaulatan Bangsa Papua Barat. Peradaban Otsus dalam 25 tahun 19 tahun kedepan terus dijalankan, ketidakadilan yang terus menerus akan terjadi. Kado-kado politik yang ter-cover dalam otsus; politik devide et impera, ekspansi trans nasional dan multi coorporate ditengah ancaman pemanasan bumi global warming", genosida dan penerapan budaya eropa sentrisme menuju sektarian masyarakat.

Perjuangan Bangsa Indonesia dalam meletakkan statuta kenegaraannya sangat bergigi. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Tetapi ekspansi TRIKORA 1963, Ekspansi Freeport tahun 19967 sebelum Referendum digelar di Papua tahun 1969 patut di pertanyakan. Otonomi Khusus yang tanpa disadari adalah bagian dari kepentingan terselubung kaum neoliberal yang dijalankan oleh agen-Nya di Indonesia dan Papua Barat (jakarta-jayapura-manokwari yang sudah nyata mendesain ketidakadilan di Papua. Negara-negara ketiga yang sedang berkembang (Indonesia) tak luput dari kamar dangangnya globalisasi, dimana kedaulatan rakyat terus saja jauh dari kenyataan.

Geografis wilayah Papua Barat yang tiga kali lipat dari pulau Jawa membutuhkan penanganan khusus dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Harapan akan kemajuan yang digapai, kedaulatan dan keadilan rakyat Papua mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat dunia, namun sayangnya simpati yang berdatangan salah urus. Desain Otsus dalam implementasinya merepresif orang Papua baik dari segi adat dan budaya terjadi lonjakan yang jauh, kemerdekaan politik dan keutuhan rakyat Papua Barat berada dalam ancaman nyata.

Dari penerapan otsus sampai sekarang sangat jelas kegagalannya.
Pertama, Desain Otsus merupakan paket kepentingan multidimensional demi menjawab laju globalisasi.

Kedua, Otsus merupakan Kebijakan reaksioner kaum berkepentingan di Papua dengan semboyan mereda aspirasi Papua Merdeka, maka isu separatisme sering menjadi alasan pembenar selain demi menjalankan otsus juga sebagai harga tawar menawar elite dimana perseteruan yang paling dominan sering dilancarkan oleh militer usai terdegradasi dari tanah rencong-Aceh pasca MOU RI-GAM.

Ketiga, Penerapan Otsus tak jauh dari harapan eropasentrisme, dimana kelompok tradisional dianggap tabu bagi kebutuhan pasar modern. Sudah pasti, rakyat Papua menjadi anak tiri di negeri sendiri akibat lonjakan budaya dan bukan SDM sebagai alasan pembenar orang Papua tidak maju.

Orang Papua terasing di negeri sendiri, sama halnya masyarakat jawa yang di surabaya mengungsi dari lumpur lapindo. Otsus Papua didesain Bisa di bayangkan semakin ganasnya otonomi khusus di Papua Barat bagaikan lumpur lapindo brantas. Alasannya adalah Otsus merupakan senjata pembunuh tuntutan merdeka, sekejam freeport berhegemoni sampai sekarang. Dalam pandangan kaum reaksioner sejati selalu menganggap orang Papua belum punya SDM (Sumber Daya Manusia) untuk bisa maju. Diskursus tersebut hanyalah jawaban bagi kepentingan pasar pemilik modal. Mengapa?, Sumber daya manusia saat ini berada dalam rentang kendali pemodal, maka intelektual tak bisa berpihak kepada rakyatnya ditengah dominasi kaum pemodal di segala bidang. Peradaban tradisional rakyat Papua Barat yang kian kental; sistem pasar adalah hal baru, tetapi pertukaran barang dan barang merupakan hal lasim di Papua. Globalisasi selalu menentukan celah pragmatisme untuk mendaptkan hasil yang memuaskan,
sayangnya Jakarta yang kian ribut nasionalisme malah dijadikan Mandor pasar pemodal.

Penanganan masalah di Papua Barat selama ini tidak sesuai dengan realitas sosial maupun politik. Namun penangan masalah di Papua selama ini terus saja diarahkan untuk tidak lain menjawab kepentingan Bangsa-Bangsa penjajah, Papua terus diperuntukan bagi kejayaan eksploitasi, kejayaan kolonialisme kaum birokrat, kebebasan dan kemerdekaan sebagai ruang tuntutan Bangsa Papua dipandang berbahaya tetapi kerinduan untuk lebih adil, berdaulat dan MERDEKA merupakan roh rakyat di Papua juga rakyat jawa yang terkena lumpur lapindo di Sidoarjo bahkan rakyat palestina pun menuntut hal yang sama kemerdekaan, kedaulatan, kebebasan secara universal yang anti sektarianisme...

Sudah saatnya pintu internasionalisasi masalah Papua dibuka. Dukungan internasional sebagai pertanggungjawaban atas cacatnya proses politik Papua yang melibatkan negara-negara luar seperti Belanda, Amerika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inilah jawaban atas kegagalan Otsus saat ini.(Pigundoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar